Ludruk dan Asal-usulnya

Media Komunikasi Tradisional
Surabaya - Jawa Timur



Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)


“PEGUPON omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”.


Kalimat berbahasa Jawa di atas, tidak hanya dibaca begitu saja, tetapi dilagukan dengan seni kidung jula-juli yang merupakan bagian dari Seni Ludruk. Suatu jenis kesenian yang sudah membudaya di Kota Surabaya sejak abad XV.

Kalimat, pegupon rumahnya (kandang) doro (burung dara) atau burung merpati, hanyalah sebuah sampiran yang tidak mengandung arti apabila dikaitkan dengan isi pantun yang sesungguhnya. Kalimat itu hanyalah pemanis ucapan sebenarnya, dari kalimat yang kedua, yaitu: “melok Nippon tambah sengsoro”. Artinya, ikut Jepang, tambah sengsara.

Bagaimana pun juga, itulah kenyataannya di zaman pendudukan atau penjajahan Jepang. Walaupun yang hanya tiga setengah tahun di bumi pertiwi ini, rasanya menyakitkan.. Dari Sabang sampai Merauke, rakyat Indonesia menyatakan penjajah Jepang itu kejam. Konon, ada yang merasa senang dan menikmati keberadaan Jepang di Indonesia. Tetapi tidak demikian bagi saudara dan keluarga kita yang dijadikan romusha dan kerja paksa. Perangai mereka benar-benar “biadab” tidak berperikemanusiaan.

Di balik itu peristiwa yang memilukan itu, akhirnya mengantar kita ke gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Nah, kalimat yang berbentuk syair atau pantun yang disampaikan secara spontan, dengan kidungan jula-juli yang kedengarannya agak lucu, mengandung humor, tetapi bernada kritik itu, itulah kira-kira difenisi dari Seni Ludruk. Seni yang “diakui” sebagai salah satu seni tradisional Surabaya.

Suara hati yang halus dari para seniman memang tak mampu berdiam diri. Kendati satu kalimat, seperti yang diucapkan Gondo Durasim dalam kidungan sairnya itu, ternyata mampu membuat gejolak yang membara di hati sang penjajah. Si Nippon atau Jepang. benar-benar takmampu menahan amarahnya, tatkala ada warga negara Indonesia di Surabaya yang berani mengucapkan kalimat “Ikut Jepang ternyata tambah sengsara”.

Kidungan Cak Durasim – demikian sapaan khas Gondo Durasim – melalui seni Ludruk itu ternyata mampu menggugah semangat perlawanan warga Surabaya kepada “saudara tua” itu. Saking tidak mampunya si Jepang itu menahan emosi tatkala dilapori oleh “pengkhianat dan penjilat” tentang arti kalimat Bahasa Jawa itu, Cak Durasim terpaksa berurusan dengan Kenpetai – Polisi Militer Jepang – yang terkenal tak mau kompromi itu. Cak Durasim, disiksa dan dipenjarakan tanpa sidang di meja hijau.

Jadi, kegiatan seni budaya itu, tidak hanya untuk menghibur. Seni Ludruk, juga tidak semata-mata sebagai alat pengguyu atau pengolah tawa. Tetapi, seperti yang dilakukan Cak Durasim, seni kidungan Ludruk ternyata mampu mengobarkan semangat juang dan sekaligus menundukkan lawan.

Memang, kidungan Cak Durasim itu, adalah contoh, seni Ludruk. Terbukti, betapa seni ucap dan tutur mampu menggugah rasa dan karsa. Sehingga membuat seseorang berbuat dan melakukan sesuatu. Sebaliknya, adalah benar pula bunyi pepatah yang mengatakan “mulutmu, harimaumu”, Artinya, hati-hatilah dalam bertutur, sebab ucapan yang keliru dapat menerkam dirimu sendiri. Oleh sebab itu, dalam bertutur dan berucap harus mampu menempatkannya.

Bertutur adalah bagian dari komunikasi. Dunia seni juga alat komunikas. Ludruk adalah komponen media komunikasi tradisional yang harus dilestarikan. Sebab, tidak hanya berpidato atau retorika semata yang dapat dikatakan sebagai media komunikasi. Bernyanyi, bersyair, berpantun, kidungan dan jula-juli dalam seni Ludruk merupakan seni budaya yang sangat bermanfaat.

Seni Ludruk mampu menggalang kebersamaan dan solidaritas di antara sesama. Ludruk mampu merekat persaudaraan, rasa setia kawan dan mempersatukan suatu komunitas. Oleh sebab itu, media komunikasi yang dibangun melalui seni Ludruk, harus mampu menyampaikan ide-ide murni, kritik yang membangun, serta saran yang bermanfaat.

Memang, melalui seni Ludruk, komunikasi akan terbentuk dengan rasa humor, lucu dan menghibur. Dengan demikian, para pemerhati, pendengar, panonton dan pemirsa akan menyatu dengan pelaku yang berada di panggung.. Sebagai alat kontrol sosial, Ludruk mempunyai karakteristik yang mencerminkan pergaulan dan kehidupan warga atau komunitas pendukungnya.

Dalam seni budaya, dua kalimat di atas merupakan sebuah sair atau pantun
Cak Durasim, bagaimanapun juga harus diakui sebagai pahlawan. Dia telah berkorban demi perjuangan kemerdekaan di ranah kota Surabaya. Kendati hanya dengan pesan moral, seniman ludruk ini mampu membuat bulu kuduk penjajah Jepang merinding. Telinga Nipong itu merah, hatinya panas bergejolak tak terkendalikan. Bahkan “saudara tua” itu tidak mampu menguasai emosi. Tak pelak akhirnya Cak Durasim pun “dihabisi”. Sang seniman Ludruk itu, pergi sebagai pahlawan di Kota Pahlawan Surabaya ini. Namanya diabadikan sebagai nama Taman Budaya Jawa Timur, di Jalan Gentengkali Surabaya, yaitu “Taman Budaya Cak Durasim”.


Prabu Minohek


`Selain nama Cak Durasim, generasi penerusnya hingga sekarang pun masih ada. Pernah dengar nama Kartolo, Markeso, Markaban, Kancil, Sokran, Basman, Blontang, Kustini, Bondet, Munawar dan lain-lainnnya? Tentu, mereka itu adalah para seniman Ludruk.

Konon seni Ludruk itu sudah ada sejak abad ke XV. Berkembang pesat di Jawa Timur, terutama di Surabaya, Jombang dan Malang.

Ludruk itu, adalah sandiwara tradisional Jawa Timur, tulis M.Jupri pada Kamus Suroboyoan Indonesia, halaman 115. Namun, karena yang ditulis M.Jupri itu hanyalah kamus, tidak ada penjelasan lebih lengkap.

Tentang asal usul kata Ludruk itu sendiri, belum jelas sampai sekarang. Para ahli bahasa, seni dan budayawan masih meraba-raba. Namun, kalau kepada para seniman ditanya apa asalnya, jawabnya “lucu-lucu” – sama lucunya dengan seni ludruk itu sendiri.

Nah, tentu apabila kita melihat atau mendengar sesuatu yang lucu, maka kita akan tertawa. Ada rasa geli dan gembira yang menyeruak di dalam hati.

“Tertawa itu sehat”, bak kata pepatah dan pesan orang tua kita. Tetapi, ingat jangan tertawa sendirian tanpa sebab apa-apa. Nanti dianggap tidak waras. Oleh sebab itu, maka tidaklah mengherankan, di samping seni ludruk yang membuat orang tertawa, banyak lelucon atau lawak yang juga menghasilkan tertawa. Demikian pula dengan seni ludruk, pada prinsipnya, juga mampu memproduksi kelenjar-kelenjar yang mengendurkan urat syaraf. Saat urat syaraf sedang kendur itulah orang bisa tertawa. Atau sebaliknya, dengan tertawa dapat mengendurkan ketegangan urat syaraf.

Banyak pula bentuk acara dan seni yang bisa menghasilkan tawa. Selain, ludruk, ada yang disebut humor, lecucon, lawak, dagelan, guyonan, “kocok perut” dan istilah lain dari berbagai daerah.

Saya juga tidak pernah melupakan, sahabat yang sekaligus bapak bagi saya dari bidang komunikasi. Di adalah Markum Singodimedjo. Dulu pernah menjadi kepala Kantor Deppen (Departemen Penerangan) Kota Surabaya. Prestasinya melejit, menjadi Kakanwil (Kepala kantor Wilayah) Deppen di Aceh, Riau dan Jawa Timur. Kemudian, Markum of Lion on the Table itu, menjadi bupati di kampung reog Ponorogo.

Apa yang dilakukan oleh perokok berat yang akhirnya terdampar di Senayan Jakarta sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar itu sewaktu menjadi bupati. Dia bilang, hanya satu: “Gawe Gemuyune Wong Cilik” atau membuat orang kecil bisa tertawa. Artinya, dalam keadaan bagaimanapun mereka bisa senang. Sebab, tertawa itu adalah pertanda hati seseorang senang, kata pria yang baru bisa tidur kalau punggungnya sudah digaruk sang isteri.

Dalam buku Ilmu Ngglethek Prabu Minohek, karangan Sindhunata, halaman 4, disebutkan, bahwa dalam tawa sesungguhnya tersimpan pelbagai rahasia hidup manusia. Ketika manusia tertawa, itulah saat di mana “surga sedang menyentuh hatinya”. Betapa pentingnya tertawa itu bagi hidup manusia. Kita perlu tertawa supaya kita bisa bijaksana. Sementara harus kita akui betapa pelit kita dengan tawa. Karena itu, pada kesempatan apapun kita perlu mencari sela-sela dan peluang untuk tertawa, sejauh kita bisa.

Tertawa adalah intisari dari ilmu Ngglethek. Hanya dengan tertawa, kita bisa menyelami, hidup ini sesungguhnya hanyalah ngglethek belaka. Ngglethek maksudnya, apa yang kita bayangkan ternyata lain dengan kenyataan yang terjadi, dan apa yang kita usahakan mati-matian, ternyata tak berarti apa-apa buat hidup kita. Tak mungkin orang bisa sampai pada ke-ngglethek-an itu, apabila ia tidak bisa tertawa dan menertawakan dirinya, maupun hidupnya.

Dalam buku Ilmu Ngglethek yang ditulis Sindhunata itu sesungguhnya bercerita tentang kehidupan seniman ludruk Kartolo. Banyak ungkapan dan sejarah tentang ludruk itu dipaparkan dalam buku itu. Ada 43 judul yang masuk dalam “Jerohan Ilmu Ngglethek Prabu Minohek” itu. Selain peran Cak Kartolo, sebagai seorang figur ludruk, juga diperkenalkan beberapa seniman ludruk lainnya.

Bagi masyarakat Surabaya dan Jawa Timur, tentu mendengar nama Cak Kartolo, bukan asing lagi. Selain mendengar atau menyaksikan langsung dari panggung, dagelan Cak Kartolo juga sudah banyak yang beredar melalui pita rekaman atau kaset. Sehingga, tidak jarang, ludrukan Cak Kartolo itu bisa didengar di mana-mana. Penggemarnya tidak pandang profesi. Mulai dari tukang becak, kuli, buruh bangunan, tukang kayu, sopir, juga pedagang, pengusaha besar, guru, dosen, perawat, ibu-ibu rumahtangga dan kaum intelektual lainnya.

Saya juga menyenangi ludruk. Namun ada teman-teman yang menganggap aneh. Alasannya, saya bukan asli atau kelahiran Surabaya. Tetapi, mereka tidak tahu, kalau berbagai seluk-beluk budaya asli Surabaya saya tekuni bersungguh-sungguh. Tidak hanya itu yang saya gandrungi, juga joke-joke tentang orang Madura, juga saya senangi. Banyak joke tentang orang Madura yang sekarang sudah menasional. Menjadi lawakan menarik.

Beberapa kali dalam perjalanan keluar kota bersama rombongan di dalam bus, saya kadang-kadang berperan sebagai pengolah tawa amatiran. Sewaktu saya bercerita tentang ilmu Ngglethek Prabu Minohek itu, teman-teman dari Kosgoro serius mendengarkannya. Saya kutip beberapa kidungan jula-juli Cak Kartolo. Kemudian saya katakan sebenarnya ilmu Ngglethek ajaran Prabu Minohek itu adalah ajaran tentang ilmu tertawa. Mengapa kita perlu tertawa, karena hidup ini sebenarnya hek, hek, hek, entek jare tokek, moro-moro matek. O alla ngglethek.

Saking seriusnya mendengar beberapa kutipan dari buku itu, Said dan Eva bukannya tertawa, malah serentak berkata: “Eee, alaaah ....... njiketek”, katanya.

Asal-usul kata Ludruk

Apakah anda tahu, dari mana asal kata Ludruk itu. Ternyata, sampai sekarang belum ada kesimpulan yang pasti.

Pernah ada diskusi tentang sejarah Ludruk yang diselenggarakan para seniman Surabaya di tahun 2002. Kesimpulan diskusi itupun tidak pernah tegas mengatakan asal-usul Ludruk itu. Pokoknya, Ludruk adalah seni budaya yang sudah berkembang dan membudaya di Surabaya dan Jawa Timur.

“Lho, siapa bilang tidak ada kata asal dari Ludruk!”, ujar Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya. “Ludruk itu berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk menghentak lantai seperti penari Ngremo. Ya, itulah Ludruk, kata Cak Markaban dengan serius, tetapi yang mendengarkan terpingkal-pingkal.

“Oh, oh, bukan demikian”, sahut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan yang hadir pada diskusi itu. “Ludruk itu asalnya molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai – gedrak-gedruk”, jelasnya.

Oke-oke, kalau begitu hampir sama, ujar Bawong dari DKS (Dewan Kesenian Surabaya) yang membuat kesimpulan dengan suara agak lantang.

Ludruk itu, kata Eddy Samson, yang dikutip Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, halaman 100, berasal dari bahasa Belanda.

Dulu, tatkala menonton drama tradisional ini banyak anak-anak Belanda muda Indo – tentunya mereka itu teman-teman bapak atau kakek dari Eddy Samson yang juga Indo – yang senang menonton. Mereka menyukainya. Kepada teman-teman yang akan diajak nonton dikatakan: “Mari kita leuk en druk. Kalau bahasa gaul sekarang: mari kita tida ferdoeli, yang penting enjoy, happy-happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa ini”, begitu kira-kira maksudnya. Atau bahasa gaul anak musa kita menikmati dugem (dunia yang gemerlapan) atau (dunia gembira)..

Nah, ini dia, kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini, yaitu Ludruk. Ah, wallauhualam bisssawaaab!

Yang jelas, dalam praktiknya, ludruk adalah membuat orang tertawa, senang dan kalaupun tersindir tidak boleh marah. Hati boleh panas, kepala tetap dingin. Tidak seperti Nippon yang menyiksa Cak Durasim.

Peneliti asing

Ludruk yang dibawakan Cak Markeso, sering pula disebut ludruk garingan. Ia tampil secara sendirian, atau tunggal. Garing, dapat diartikan kering. Jenis ludruk ini juga biasa disebut ludruk Lirok. Memang, Cak Markeso biasa bermain solo atau tunggal. Konon ia sudah memulai kegiatan itu sejak tahun 1949. Namun tahun 1990-an Cak Markeso yang lahir tahun 1920 itu sudah jarang tampil, uzur karena dimakan usia. Ia berpulang ke Rahmatullah tahun 1999.

Melihat jauh ke zaman dulu yang menyatakan, bahwa ludruk sudah ada sejak abad ke-15. Kesenian tradisional itu, malah juga bukan yang pertama, sebab sebelumnya pada abad ke-12 hingga abad ke-15 sudah ada kesenian tradisional bernama Badhan. Kesenian ini mementaskan suatu bentuk pamer kekuatan dengan menggunakan magic dan supranatural.

Pada abad ke-16, lahirlah kesenian yang disebut Lerok, berasal dari kata lira alat musik mirip siter. Kesenian yang berkembang di daerah Jombang itu, masuk ke kota Surabaya, dengan sebutan Ludruk Lirok. Itulah yang dikembangkan Cak Markeso. Hingga sekarang, ludruk jenis Lirok ini masih ada, tetapi sudah bukan solo lagi, namun ditambahi dengan ketipung dan jidor. Nah, iringan suara unik itu mengiringi kidung jula-juli.

Ada pula yang disebut ludruk Besutan. Nama besut asalnya adalah nama seorang seniman yang mengawali kegiatan dengan ngamen (meminta-minta atau mengemis) dari kampung ke kampung. Besut yang mulanya berjalan sendiri, mengajak temannya tiga orang. Di antaranya, mengenakan pakaian wanita, seperti banci. Lama kelamaan, ludruk jenis ini disebut Ludruk Besutan.

Keberadaan kesenian tradisional ini di samping menarik simpati orang. Sehingga ada yang menyediakan gedung khusus untuk pertunjukan ludruk ini secara rutin. Ludruk gedung ini, dulu ada di tiap kecamatan di Surabaya. Tetapi lama-lama hilang dan menghentikan kegiatannya. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, masih ada yang bertahan. Di antaranya, Ludruk Irama Budaya, di Pulo Wonokromo dan Ludruk Bintang Jaya di Dukuh Kupang.

Kendati ludruk merupakan kesenian tradisional yang bersifat lokal, ternyata menarik pula untuk bahan penelitian. Tidak sedikit mahasiswa melakukan penelitian untuk skripsi. Bahkan, peneliti asing pun sudah sejak lama melakukan pengkajian terhadap kesenian yang sempat membuat Cak Markeso masuk penjara.

James L.Peacook, tidak sekedar meneliti, tetapi melakukan kajian ilmiah. Ia bahkan, melakukan pendalaman tentang ludruk. Sampai-sampai menghimpun berbagai kidungan dan jula-juli yang sering dibawakan pemain ludruk.

Ada lagi peneliti yang bernama Th.Pigeaud. Ia menulis hasil penelitian itu dalam buku berjudul Javaanse Volksvertonigen yang terbit tahun 1938.

Prof.Dr.RM Ng.Poebatjaraka, ahli filologi Indonesia, juga pernah melakukan pembahasan tentang ludruk. Demikian pula dengan L.Poerbokoesoemo, tahun 1960 menulis tentang Ludruk dari Segi Sejarah serta Perkembangannya.


Ludruk Glamour

Ludruk sudah lama dimanfaatkan sebagai media komunikasi. Melalui para pemain ludruk di panggung, disampaikan berbagai pesan. Baik pesan dari pemerintah, maupun”pesan sponsor” tertentu.

Tahun 1960-an hingga awal zaman Orde Baru ludruk juga dimanfaatkan untuk menggalang kepentingan organisasi dan partai politik. Bahkan, kepolisian melalui grup kesenian Ludruk Tribrata Brimob, pimpinan Cak parman, misalnya sering tampil dalam acara-acara panggung gembira. Di samping menghibur, mereka menyampaikan pesan-pesan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat).

Saat Deppen (Departemen Penerangan) masih ada di dalam pemerintahan, kegiatan kesenian tradisional jenis ludruk ini termasuk yang dibina. Kelompok ludruk dijadikan media atau alat komunikator pemerintah untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Namun yang rutin dikenal masyarakat melalui siaran di RRI (Radio Republik Indonesia) dan sekali-sekali di panggung acara.

Memang terjadi pasang surut, sebab setelah ludruk itu “kurang lucu” dan “kurang kritis”, karena menjadi alat pemerintah semata, maka masyarakat mulai meninggalkannya. Masyarakat ingin, ludruk itu seperti zamannya Cak Gondo Durasim.

Sadar bahwa kesenian ludruk iditinggalkan penggemarnya, beberapa komunitas seni berusaha menghidupkan. Tetapi tetap tertatih-tatih, karena semua sekarang ini serba sponsor untuk membiayainya.

Di kampus ITS Surabaya, pernah ada kelompok ludruk intelektual yang berusaha menyampaikan pesan-pesan ilmiah secara tradisional. Namanya Ludruk Muda “Cap Tugu Pahlawan”. Namun tidak berumur panjang.

SCTV (Surya Citra Televisi) yang waktu itu masih berdomisili di Surabaya, sebelum hijrah ke Jakarta, pernah menampilkan kesenian ludruk dengan tajuk “Ludruk Glamour”. Tujuannya untuk mengimbangi penampilan Ketoprak Humor. Awalnya, mereka tampil menarik dan berani. Tetapi, lama kelamaan hilang dari tayangan.

Nah, sekarang mari kita tanya kepada “rumput yang bergoyang”, siapakah yang bertanggungjawab atas semakin pudarnya citra ludruk di bumi Surabaya ini? Ayo sopo cak! **

*) Yousri Nur Raja Agam MH Wartawan Senior Surabaya - Pemerhati budaya – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.


Read more...

Di Surabaya Lima Jenazah Bertumpuk dalam Satu Makam





TPU Keputih Mulai Ramai




Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)



KEADAAN Taman Pemakaman Umum (TPU) di Kota Surabaya benar-benar dalam keadaan kritis dan memprihatinkan. Bayangkan, saat ini dalam satu makam ditempati empat sampai lima jenazah bertumpuk. Ini tidak lain akibat laju pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan tersedianya lahan TPU di dalam kota.


Dari 11 TPU yang dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, boleh dikatakan kondisinya sudah penuh. Namun, para ahliwaris warga yang meninggal dunia selalu memaksakan untuk menempati TPU yang sudah padat itu. Akhirnya, tidak jarang, makam lama digali kembali dan jenazah baru diletakkan di atas kerangka jenazah makam lama.


Jadi, lima jenazah ditumpuh dalam satu makam, bukan sekedar ucapan kosong. Ini kenyataan. Di beberapa TPU, sudah biasa terlihat dalam satu makam, ada lima nama almarhum atau almarhumah yang ditempel di dinding makam keluarga. Para pembaca, bisa melihat sendiri di TPU Tembok, TPU Ngagel, TPU Kapas dan yang lainnya.


Seperti terlihat pada foto di atas, makam almarhum Buya H.Bey Arifin, tokoh agama Islam di Kota Surabaya ini, meninggal 30 April 1995 dimakamkan di TPU Ngagel. Di makam yang satu itu, sekarang sudah bertumpuk lima jenazah. Jenazah kedua, isteri almarhum, Ny.Zainab. Berikut tiga anak almarhum: Ahmad Urfi dan Muhammad Munif, serta Hj.Nurhayati.


Berdasarkan data yang dihimpun penulis dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang juga mengelola pemakaman umum di Kota Surabaya, luas lahan kuburan yang dikelola Pemkot Surabaya 118,4 hektar. Kalaupun ada makam-makam yang tidak masuk dalam data yang dikelola Pemkot Surabaya, itu adalah tanah makam keluarga atau milik masyarakat.


Kendati luas makam di Surabaya hanya 118,4 hektar, namun kenyataannya semua jenazah orang yang meninggal di Surabaya tidak pernah "terlantar", karena tidak dapat dikuburkan. Namun, ya itu tadi, dipaksakan "bertumpuk". Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Ir.Hidayat Syah.


Memang berdasarkan perhitungan, tingkat kematian di Surabaya, rata-rata 350 sampai 390 orang tiap bulan bagi yang beragama Islam dan 83 hingga 110 orang bagi umat Kristen. Bagi golongan yang beragama lain, rata-rata sekitar 10 orang tiap bulannya.


Sebagai gambaran, di Surabaya ada 11 TPU yang dikelola Pemkot Surabaya. makam itu, khusus TPU untuk semua agama ada lima, khusus makam Islam juga lima dan khusus makam Kristen ada satu.


TPU untuk berbagai agama, adalah: TPU Kapas Krampung, luasnya 9 Ha, TPU Putat Gede (14 Ha), TPU Wonokusumo Kidul (7,1 Ha), TPU Peneleh (4,5 Ha) dan TPU Simokwagean (12,42 Ha). Makam khusus Islam, yakni: Makam Islam Kalianak (7 Ha), Makam Islam Karang Tembok (8,5 Ha), Makam Islam Tembok Gede (13 Ha), Makam Islam Ngagel Rejo (6 Ha) dan Makam Islam Asem Jajar (2,8 Ha). Satu Makam Kristen, di Kembang Kuning, luasnya 34,08 hektar.


TPU Keputih


Kepadatan isi makam benar-benar sudah memprihatinkan, sebagai contoh, di Makam Islam Karang Tembok satu makam sudah menumpuk sampai lima jenazah. Sedangkan Makam Tembok Gede dan Ngagelrejo rata-rata satu makam bertumpuk empat jenazah. Makam Kalianak, Asem Jajar, Kapas Krampung dan Kembang Kuning masing-masing makam ditempati dua jenazah.


Melihat kondisi yang demikian itu, sejak tahun 2000 lalu, Pemkot Surabaya sudah melakukan persiapan pembangunan TPU baru. Sekarang, sudah tersedia lahan untuk pemakaman baru seluas 60 hektar di dua lokasi.

TPU baru itu, seluas 50 hektar terletak di Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya Timur dan yang 10 hektar berada di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya Barat. Selain di dua tempat itu, juga akan dibangun TPU baru di Tambakdono seluas 125 hektar.


Lahan TPU di Sukolilo yang sudah difungsikan ada 4,5 hektar yang dibagi dalam 12 blok. Tiap blok dirancang untuk 400 sampai 500 makam. Sementara itu, TPU yang berada di babat Jerawat, dari 10 hektar yang direncanakan baru berhasil dibangun 7,1 hektar.


Ternyata setelah TPU Keputih dibenahi, masyarakat sudah mulai tertarik untuk memakamkan keluarganya yang meninggal ke TPU baru itu. Walaupun demikian, warga kota masih saja berebutan membawa jenazah keluarganya ke TPU yang berada di tengah kota.


Selama ini TPU yang selalu menjadi favorit warga adalah TPU Ngagel dan Ngagelrejo, TPU Karang Tembok, TPU Tembok Gede dan juga TPU Kapas dan TPU Kenjeran. Padahal, seperti diungkapkan di TPU ini jenazah sudah bertumpuk empat sampai lima tiap makam.


Sebenarnya, untuk menghadapi permasalahan makam ini Pemkot Surabaya sudah memberikan ketentuan kepada tiap pengembang atau pengusaha realestat yang membangun kawasan permukiman untuk menyediakan fasilitas umum berupa TPU. Namun, belum ada perusahaan swasta yang membangunan kawasan perumahan baru itu yang menyediakan fasilitas TPU.


Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya No.65 tahun 1997 tanggal 12 Agustus 1997, ditetapkan, kepada perusahaan pengembang diwajibkan menyetorkan dana sebesar harga 2 persen dari luas lahan yang dikuasai. Perhitungan harga lahan itu disesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) atas tanah di kawasan itu.


Dalam kenyataannya, kebanyakan para pengembang perumahan lebih berorientasi kepada bisnis daripada kepada kepentingan sosial. Sehingga, boleh dikatakan keputusan walikota itu belum terlaksana secara optimal.

Untuk menjaring agar pengusaha pembangun perumahan "terpaksa" menyediakan dana untuk membangun TPU, maka diancam dengan sanksi. Sanksinya, apabila tidak menyediakan lahan 2 persen atau mengganti seharga 2 persen, maka proses perizinan pembangunan akan dibekukan, seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) misalnya.

Pemkot Surabaya menerapkan sistem retribusi makam di TPU seperti TPU Tanah Kusir di Jakarta. Peraturan daerah (Perda) tentang retribusi pemakaman itu sudah dipersiapkan. ***




*) Yousri Nur Raja Agam MH -- Ketua Yayasan Peduli Surabaya.


Read more...

Lagu Indonesia Raya Asli Ciptaan WR Soepratman


Lagu Indonesia Raya
Lengkap Tiga Kuplet


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)


LAGU Indonesia Raya, adalah Lagu Kebangsaan Indonesia. Lagu resmi yang dinyanyikan dalam suatu upacara. Lagu kebangsaan itu, tidak hanya dipunyai oleh Bangsa Indonesia, tetapi juga oleh seluruh bangsa di dunia.

Untuk melagukan lagu kebangsaan, di tiap negara diatur dengan undang-undang atau pertauran khusus. Kedudukan lagu kebangsaan, sejajar dengan bendera dan lambang negara. Bagi kita di Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman, posisinya sejajar dengan bendera merah putih dan lambag negara Garuda Pancasila yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Tatkala itu untuk pertamakalinya lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan dikumandangkan pada suatu acara resmi, yakni Kongres II Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dan yang paling istimewa, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh paduan suara pemuda-pelajar Indonesia itu, diiringi langsung dengan biola oleh sang pencipta lagu Indonesia Raya, WR Soepratman.

Tidak mudah dan tidak gampang untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya ketika itu. Ketika bangsa Indonesia masih berada di bawah cengkeraman penjajah kolonial Belanda. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, begitu juga lagu-lagu mars perjuangan untuk menggelorakan semangat pemuda dilarang dan diawasi dengan sangat ketat.

Lagu Indonesia Raya, yang dikumandangkan pada saat Kongres II Pemuda Indonesia yang melahirkan “Sumpah Pemuda”, 28 Oktober 1928 itu, nyaris dilarang sama sekali untuk dinyanyikan. Namun berkat kepiawaian Muhammad Husni Thamrin beserta panitia Kongres II Pemuda Indonesia di Jakarta itu, akhirnya Lagu Indonesia Raya dapat dinyanyikan. Bahkan, peserta Kongres II Pemuda Indonesia, sepakat menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu “wajib” dan kemudian ditetapkan menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Bangsa di dunia

Lagu Kebangsaan, hampir dipunyai oleh setiap bangsa dan negara di dunia. Amerika Serikat sebagai negara besar, lagu kebangsaannya berjudul: The Star Spangled Banner. Musiknya digubah oleh John Stafford Smith dan teksnya dibuat oleh Francis Scot Key. Negara kerajaan Jepang punya lagu kebangsaan Kimigayo yang musiknya dirilis oleh Hayashi Hirokami, sedang penulis teksnya tak dikenal. Thailand atau dulu disebut Muang Thai dengan lagu berjudul Sansern Prabarami, teksnya disusun oleh Pangeran Naris, sedang musiknya digubah oleh Phra Proditphairo.

Negara Yahudi, Israel juga punya lagu kebangsaan dengan judul Hatikwah yang teksnya digubah oleh N.H. Imber, sedang penggubah musiknya tak dikenal. Negara Saudi Arabia dengan As Salam Al Malaky As Saudi, yang musiknya digubah oleh Abdul Rachman al Khatib. Bangsa Spanyol dengan Himno Ncional, penulis musik dan teksnya sampai sekarang tak dikenal. Dan masih banyak lagi. Hampir seluruh bangsa di dunia ini mempunyai lagu kebangsaan.

Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, musik dan teksnya digubah oleh satu orang, yakni W.R. Soepratman. Lahir pada zaman pergerakan dalam kancah apinya perjuangan bangsa Indonesia. Uniknya, Lagu Indonesia Raya ini lahir sebelum Negara Republik Indonesia itu sendiri lahir.

Di tiap negara, makna lagu kebangsaan hampir sama. Lagu yang dikeramatkan di lubuk hati setiap bangsa. Bangsa yang mempunyai lagu kebaangsaan mempunyai rasa kebangsaan yang tinggi, Deutschland Uber Alles, cinta pada rajanya, kepada negaranya, kepada pemimpinnya. Seperti God Save the King, As Salam Al Malaky As Saudi. Sedangkan bagi kita bangsa Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya mempunyai arti yang luas, cinta kepada tanah air. Ada lagi yang cinta kepada benderanya Star Spangled Banner. Bahkan ada pula lagu kebangsaan yang merupakan penyataan siap dan rela berkorban: Wilhelmus, Merseilles.

Lagu Kebangsaan

Setelah pergerakan Budi Utomo (Boedi Oetomo) yang dimulai 20 Mei 1908 melakukan berbagai kegiatan, akhirnya mampu membentuk rasa kebangsaan dan nasionalisme. Keinginan untuk bersatu dan merdeka semakin kuat. Pergerakan itu mampu menghimpun pemuda dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Para pemuda yang berasal dari Pulau Jawa mendirikan Jong Java, di Sumatera ada Jong Sumatera, di Sulawesi bernama Jong Celebes, di Maluku dikenal dengan sebutan Jong Ambon. Juga ada organisasi pemuda Islam yang bernama Jong Islamiten dan sebagainya.

Pertemuan antar pemuda dari berbagai daerah itu, berhasil menyelenggarakan Kongres I Pemuda Indonesia tanggal 30 April sampai dengan 2 Mei 1926 di Jakarta. Dalam kongres tersebut telah diambil keputusan yang menetapkan bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan.
Dua tahun kemudian, diselenggarakan Kongres II Pemuda Indonesia di Jakarta selama dua hari tanggal 27 Oktober sampai 28 Oktober 1928. Kongres ini menghasilkan kebulatan tekad pemuda Indonesia yang diwujudkan dalam suatu tema “Sumpah Pemuda”. Ada tiga inti pokok sebagai penjabaran dari sumpah pemuda itu, yakni:

Bertanahair Satu, tanahair Indonesia
Berbangsa Satu, bangsa Indonesia
Berbahasa Satu, bahasa Indonesia

Di tengah gegap gempitanya sumpah sakti pemuda yang getaran dan gaungnya belum berhenti, tampillah seorang pemuda Soepratman. Ia mempersembahkan sebuah lagu hasil karya ciptaannya. Soepratman menggesekkan biolanya dengan penuh khidmat. Para pendengar terdiam mendengarkan. Suasana ruangan masih hening tenang. Kemudian dilanjutkan dengan paduan suara bersama (koor) pemuda-pemudi dari Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia yang dipimpin sendiri oleh Soepratman.
Dengan diiringi orkes Indonesia Merdeka, lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Semua yang mendengarkabn terpaku diam bagaikan tugu. Suara nyanyian bergeletar, hati para pendengar bergetar. Lagu ciptan Soepratman menghunjam dalam dada menggelorakan jiwa, membakar semangat juang bangsa Indonesia. Apalagi setelah sampai kata-kata:

Indones, Indones, Merdeka, Merdeka
Tanahkoe, neg`rikoe jang koetjinta
Indones, Indones, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja.

Seakan-akan darah pada pendengar mendidih oleh api semangat juang `Indonesia Merdeka`. Jiwa bangsa yang semula hampir mati oleh penindasan penjajah Belanda beratus-ratus tahun, menjadi bangun dan hidup. Apalagi dengan sentakan kalimat terakhir lagu itu “Hiduplah Indonesia Raya.”

Musik yang digubah Soepratman memang penuh irama keindahan alam Indonesia. Alamnya yang subur, pulau-pulau yang bertaburan bagaikan jelujuran rentetan mutu manikam, lautnya menggelora menepuk pantai pulau kelapa. Sedang teks syairnya bernada kesadaran, kesadaran hati dan budi. Kesadaran nasional yang kuat dan abadi. Kesadaran yang digariskan dalam lagunya ternyata seirama dengan sumpah sakti pemuda yang baru bergema.

Lagu Indonesia Raya itu disambut oleh Kongres dengan luar biasa hebatnya. Akhirnya dengan suara bulat, Kongres II Pemuda Indonesia, memutuskan dan mengakui lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Lagu yang resmi akan dinyanyikan pada tiap-tiap upacara resmi dan dalam rapat-rapat. Segera disebarluaskan ke seluruh dalam negeri dan luar negeri.
Kongres II Pemuda Indonesia juga menyatakan sang saka Merah Putih sebagai bendera kebangsaan Indonesia.

Zaman Penjajahan

Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia sebelum lahirnya lagu Indonesia Raya, belum ada suatu lagu resmi. Keadaan begini memang dirasa sesuatu kekosongan dan kehampaan dalam kancah perjuangan. Memang sudah ada suatu lagu “Dari Barat Sampai ke Timur” yang selalu dipergunakan sebagai alat pemersatu dan alat perjuangan bangsa di zaman penjajahan Belanda. Tetapi lagu tersebut belum bisa menggetarkan hati, belum sanggup membakar dan belum mendobrak jiwa ke arah Indonesia merdeka.

Soepratman menyadari ini. Berjam-jam Soepratman memercikkan tintanya, melukiskan semua suara dan nada itu di atas kertas. Dicobanya dengan biolanya. Kemudian digubahlah teks syairnya, maka terciptalah Lagu Indonesia Raya. Ada tiga kouplet atau stanza.

Kouplet I

Indonesia tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe;
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga pandoe iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe
"Indonesia bersatoe".

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg`rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe semoea;

Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrein:

Indones, Indones, Merdeka, Merdeka,
Tanahkoe, neg`rikoe, jang koetjinta;
Indones, Indones, Merdeka, Merdeka,
Hidoeplah Indonesia Raja.



Kouplet II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja;
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek slama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoeanja;
Marilah kita bersersoe,
"Indonesia Bersatoe".

Soeboerlah tanahnya,
Soeboerlah djiwanya,
Bangsanja rajatnja semoea;

Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.


Kouplet III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai;
Marilah kita berjanji:
"Indonesia Bersatoe".

S`lamatlah rajatja,
S`lamatlah poetranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea;

Madjoelah neg`rinja,
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja.

Refrein:

Indones, Indones, Merdeka,Merdeka,
Tanahkoe, neg`rikoe jang koetjinta;
Indones, Indones, Merdeka-Merdeka,
Hidoeplah Indonesia Raja.


Tersebar Luas

Lagu dan teks syairnya selesai sudah. Soepratman merasa puas dan lega. Segera ia menulis surat kepada Panitia Kongres Pemuda, bahwa lagu jang dimaksud telah digubah. Dan diterangkan pula kalau lagu ini nanti tidak dapat dijadikan lagu pergerakan, paling tidak seharusnya menjadi lagu kebangsaan, lagu bangsa Indonesia.

Kemudian ternyata lagu Indonesia Raya tersebut dalam Kongres II Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 itu diterima sebagai lagu kebangsaan. Dalam waktu singkat lagu ini telah luas tersebar di seluruh Indonesia. malahan Bung Karno yang pada waktu itu di Bandung telah menyuruh orangnya menemui Soepratman sendiri untuk minta teksnya. Di Bandung lagu tersebut diajarkan pada warga PNI dan lain-lainnya.

Soepratman yang pada waktu itu sebagai wartawan suratkabar Sin Po, mengusulkan kepada direkturnya, untuk menerbitkan lagu ciptaannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dicetak dan disebarluaskan ke seluruh Nusantara. Lebih populer lagi setelah lagu tersebut direkam oleh Firma Tio Tek Hong dijadikan piringan hitam. Dengan demikian semangat bangsa Indonesia bertambah hebat dan menggelora. Di mana-mana lagu itu menggema memenuhi angkasa.

Melihat situasi yang demikian itu Pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Lagu tersebut dianggap sebagai lagu yang membahayakan kepentingan penjajahan dan merugikan politiknya. Mereka segera melarang bangsa Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya. Rakyat bergolak. Surat-surat kabar Indonesia menggugat. Politisi-politisi bangsa Indonesia memprotes tindakan pemerintah Hindia Belanda itu. Di Dewan Rakyat (Volksraad) M.H. Thamrin mengajukan protes keras atas larangan menyanyikan lagu tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyatakan bahwa Pemerintah tidak berkeberatan bangsa Indonesia menyanyikan lagu kebangsaannya. Hanya saja kalimat "Indones, Indones, Merdeka, Merdeka" tidak boleh dicantumkan.

Soepratman mengerti bahwa kalimat-kalimat `"Merdeka, Merdeka" ini seperti halilintar menyambar di telinga Belanda. Pekak rasanya mendengarkan kata guntur "Merdeka" mengiang-ngiang di selaput telinga Belanda.

Supaya semangat persatuan dan gelora perjuangan tidak berhenti karena dilarangnya lagu itu, maka Soepratman mengubahnya dengan kalimat:
Indones, Indones, Moelia, Moelia.

Kalau sebelumnya WR Soepratman memberi judul lagunya itu: Indonesia, selanjutnya diberi nama lagu Indonesia Raya.

Peristiwa ini menambah sadarnya bangsa Indonesia. Dilarangnya menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan kata "Merdeka" menambah tebalnya kepercayaan dan keinsyafan akan sucinya perjuangan ke arah Indonesia merdeka. Sadar hatinya dan sadar budinya. Sadar akan kecintaan pada tanah air yang harus dijaga dan harus dibela. Mereka menjadi sadar sebagai rakyat yang masih dibelenggu oleh rantai penjajahan. Dengan berteriak "Merdeka" saja sudah dilarang, apalagi menjadi bangsa yang merdeka.

Kemudian, kata-kata “merdeka” diperkenan menjadi bagian dari lagu Indonesia Raya. Hal ini sudah dapat menjadikan senang hati sanga pengarang yang sekarang beristirahat panjang di bumi Kota Pahlawan Surabaya, kata Ir.H.Oerip Soedarman – salah satu ahliwaris yang mengelola Makam dan Museum WR Soepratman di Surabaya.

Nah, itulah sepintas cuplikan tentang lahirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pertamakali lagu Indonesia Raya itu dikumandangkan di depan acara resmi, Kongres II Pemuda Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. ***


*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan Senior di Surabaya.-

Read more...

Mewujudkan Provinsi Surabaya Raya
 
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH
 
WACANA untuk menjadi Kota Metropilitan Surabaya menjadi sebuah provinsi Surabaya Raya, bukanlah hal yang mustahil. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku sekarang ini, yakni UU No.32 tahun 2004, membuka peluang untuk itu. Bahkan bukan tidak mungkin pula, karena tahun 1979 lalu, 27 tahun yang silam, sebagian warga kota dan pejabat di Kota Surabaya, “pernah bermimpi” ingin menjadikan Kota Surabaya sama dengan Jakarta. Kota Surabaya dan sekitarnya akan menjadi sebuah provinsi yang dikapelai oleh seorang gubernur. Kalau Jakarta dikenal dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya, maka Surabaya yang juga sebagai kota besar kedua setelah Jakarta akan menggunakan nama “Surabaya Raya”.
 
Mimpi itu memang belum pernah menjadi kenyataan. Bahkan, perwujudan Surabaya menjadi satu kesatuan dengan wilayah sekitar yang dikenal dengan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) juga belum jelas. Koordinasi antarpemerintahan Gerbang Kertosusila yang awal tahun 1980-an begitu gencar menghadapi tahun 2000, sekarang terlihat sirna. Posisi Surabaya di wilayah Indonesia Timur dalam masa pembangunan 1980-an itu cukup menentukan. Surabaya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menjadi Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan V Indonesia – waktu itu dalam tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Indonesia dibagi menjadi 10 wilayah pengembangan pembangunan.
 
Era Reformasi Memang pada awal era reformai, gairah membangun dan koordinasi antarwilayah bertetangga, kelihatannya tenggelam oleh apa yang disebut otonomi daerah. Masing-masing kota dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri tanpa menganggap perlu ‘kulonuwun’ kepada pemerintahan provinsi.
 
Sebab, memang begitu aturannya. Pemerintahan provinsi yang dipimpin gubernur sejak ditetapkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otda) bukan lagi atasan para bupati dan walikota. Ternyata UU No.22 tahun 1999 tidak berumur panjang. UU ini diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pertimbangan UU No.32 tahun 2004 itu dinyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
 
Kalau masing-masing kepala pemerintahan kota dan kabupaten, seperti juga kota Surabaya, tidak peduli lagi dengan wilayah tetangga, apakah ‘mimpi’ menjadikan Surabaya sebagai Provinsi Surabaya Raya dapat diwujudkan? Dan apakah masih perlu ‘mimpi’ 27 tahun yang silam itu bakal menjadi kenyataan? Memang, dampak pelaksanaan UU No.22/1999 tentang otda itu di berbagai daerah cukup beragam. Terjadi pemekaran wilayah.
 
Kalau sebelumnya provinsi di Indonesia ini ada 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang setelah Timor Timur terlepas dari pemerintahan Republik Indonesia, provinsinya justru bertambah menjadi 33 provinsi. Kabupaten dan kota juga bertambah, begitu juga pemekaran kecamatan. Umumnya pembentukan provinsi baru merupakan pemekaran dari pemisahan bekas keresidenen. Di samping itu, juga ada yang berasal dari kabupaten yang wilayahnya luas atau gabungan beberapa kabupaten kota bertetangga. Zaman Moehadji Widjaja Peningkatan status Surabaya menjadi sebuah provinsi yang terpisah dari Provinsi Jawa Timur, bukan hal yang baru.
 
Bukan pula sekedar cetusan yang tanpa makna. Perlu perenungan dan pemikiran yang jernih untuk kepentingan daerah dan nasional di masa yang akan datang. Jika ditapaktilasi perjalanan sejarah berdirinya pemerintahan Kota Surabaya, memang sudah selayaknya Surabaya Raya menjadi sebuah provinsi. Berbagai pertimbangan juga pernah dijadikan landasan berpijak untuk mewujudkan pemerintahan provinsi bagi Surabaya Raya. Waktu itu, sudah ada gambaran pemekaran Surabaya menjadi sebuah Kota Raya sebagai persiapan untuk menjadi sebuah provinsi. 
 
Bahkan dalam sebuah seminar yang berkaitan dengan julukan Surabaya sebagai “Kota Pahlawan”, di awal tahun 1980-an ada yang mengusulkan agar Surabaya menjadi “Daerah Istimewa”. Sebab, keistimewaan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tidak ada bedanya dengan kota-kota lain di Indonesia. Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja pernah mengusulkan secara resmi kepada Gubernur Jawa Timur H.Soenandar Prijosoedarmo dengan suratnya tanggal 23 Oktober 1979 agar Surabaya dibagi menjadi tiga “kota administratif” (Kotif).
 
Pembagian Surabaya menjadi tiga wilayah itu, mendapat sambutan positif dari gubernur Jatim. Setelah membicarakannya dengan DPRD Jatim, Gubernur Soenandar meneruskan usulan Surabaya menjadi tiga “kota administratif” tanggal 29 November 1979 kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta. Moehadji Widjaja waktu itu bercita-cita, apabila pembentukan Kotif-Kotif itu disetujui, maka langkah selanjutnya menjadikan Kota Surabaya seperti Jakarta, yaitu berbentuk Daerah Khusus atau Daerah Istimewa yang setingkat dengan provinsi.
 
Bisa juga Surabaya yang sudah ditunjang oleh Kotif-Kotif itu berbagung dengan kabupaten di sekitar Surabaya, mendirikan Provinsi Surabaya Raya. Kabupaten-kabupaten itu adalah eks Keresidenen Surabaya yang terkoordinasi secara terpadu dalam kegiatan pembangunan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan – seharusnya Jombang – Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pembagian wilayah Surabaya kemudian benar-benar terwujud menjadi lima wilayah.
 
Tetapi waktu itu statusnya disebut sebagai wilayah Pembantu Walikota yan masing-masing wilayah dikelapai oleh Pembantu Walikota. Surabaya waktu itu juga juga ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menjadi Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan V Indonesia – waktu itu dalam tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Indonesia dibagi menjadi 10 wilayah pengembangan pembangunan.
 
Perubahan status wilayah kerja Pembantu Walikota menjadi kota-kota administratif benar-benar menjadi impian pejabat Pemkot Surabaya, karena jabatan walikota administratif adalah jabatan karir tertinggi di bawah Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) – sebutan waktu itu sebelum diganti menjadi Sekretaris Kota (Sekkota) sekarang ini. Ternyata impian para “walikota-walikota kecil” – istilah untuk para pembantu walikota atau kepala wilayah – di Surabaya itu benar-benar pupus. Apalagi, dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otonimi Daerah, sebutan kota administratif dihapus. Kini Kota Surabaya, tanpa pembagian wilayah, strukturnya dari walikota langsung kepada 31 camat dan masing-masing camat membawahkan lurah yang tersebar di 163 kelurahan.
 
Wacana untuk menjadikan Surabaya sebagai provinsi akhirnya hilang ditelan zaman. Rencana Surabaya bergabung dengan wilayah sekitarnya menjadi satu provinsi yang terpisah dari Jawa Timur, tenggelam oleh era reformasi. Kini, setelah 27 tahun berselang, tentunya kelayakan itu sudah dapat untuk diwujudkan. Apalagi peluang itu semakin terkuak oleh Undang-undang No.22 tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Inilah perubahan zaman yang diikuti perubahan politik saat ini.
 
Kalau pada masa-masa pembangunan dulu, pemerintah bersama anggota DPRD-nya seiring dan seia-sekata dalam menata pemerintahan, sekarang justru antara eksekutif dengan legislatif terbelit dengan persoalan yang saling menyudutkan. Gagasan ini memang baru dari kacamata dan pengamatan permukaan seorang wartawan, mungkin lain lagi dengan pengamatan para cendekia penyandang disiplin ilmu yang lain. Tetapi penulis sangat yakin, melihat perkembangan Indonesia ke depan dengan lahirnyra provinsi-provinsi baru, diserta faktor pendukung lainnya, niscaya pembentukan Provinsi Surabaya Raya atau Provinsi Gerbang Kertosusila sudah layak untuk diwujudkan.
 
Provinsi Baru Berkaca kepada wilayah lain di Indonesia, ternyata rakyat dan pemerintahan daerahnya sangat cepat mengantisipasi kenyataan. Salah satu di antaranya, adalah pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi baru. Kalau sebelum tahun 2000, wilayah Indonesia masih terdiri 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang ini tanpa Timor Timur justru Indonesia memiliki 33 provinsi. Di Sumatera, lahir dua provinsi baru, yakni Provinsi Babel (Bangka-Belitung) dan Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Babel memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Provinsi Kepri dulunya sebuah Kabupaten di Provinsi Riau. Jawa Barat juga melepas eks Keresidenan Banten menjadi Provinsi Banten, begitu pula dengan Sulawesi Utara, melepas wilayah Gorontalo menjadi provinsi sendiri. Provinsi Maluku dibagi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara.
 
Hal yang sama terjadi pula di Irian Jaya. Dari rencana membentuk tiga provinsi, di sana sudah lahir Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Bukan hanya itu, Sulawesi Selatan memisahkan sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Saat ini usul-usul pembentukan provinsi baru terus bergulir. Di wilayah Jawa Barat, ada lagi persiapan pembentukan provinsi baru. Namanya: Provinsi Bodebek, yakni gabungan Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi.  
 
Rencana Provinsi Bodebek ini, untuk mengimbangi pembangunan yang demikian pesat dari tetangga wilayahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya. Satu lagi yang tidak kalah menyuarakan pembentukan provinsi adalah sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berada di bagian utara. Wilayah kaya minyak bumi dan bahan tambang itu berhasrat memisahkan diri dari Kaltim dan membentuk provinsi sendiri.
 
Nama yang diusulkan untuk wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yakni negara bagian Serawak, Malaysia Timur itu adalah provinsi Kalimantan Utara. Jatim jadi Lima Provinsi Wacana mendirikan provinsi baru juga merebak di Jawa Timur. Sebagian warga Madura sudah lama ingin memisahkan diri, menjadikan Pulau Madura sebagai provinsi. Saat ini di Pulau Madura ada empat kabupaten, yakni: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Untuk memenuhi persyaratan menjadi provinsi, ada wanaca, untuk menjadikan Kota Pamekasan dan Kota Sumenep berpemerintahan sendiri. Tekad sebagian warga Madura sudah bulat.
 
Sebuah tim yang dinamakan Tim-9 (Tim Sembilan) sudah mulai bekerja. Juga ada gagasan mendirikan Provinsi Jawa Selatan di wilayah Mataraman. Provinsi ini akan menggabungkan kabupaten dan kota di eks keresidenan Madiun di Jatim dengan kabupaten dan kota eks keresidenen Surakarta di Jawa Tengah. Ada lagi yang bakal bernama Provinsi Jipang Panolan yang meliputi gabungan kabupaten di eks keresidenan Bojonegoro di Jatim dengan kabupaten di eks keresidenen Jepara di Jawa Tengah. Berpijak dan berpandangan kepada kepentingan masa depan yang lebih jauh, maka impian atau gagasan pembentukan Provinsi Surabaya Raya juga dipandang sangat layak.
 
Kelihatannya, bagi Surabaya mewujudkan diri menjadi provinsi Surabaya Raya juga semakin terbuka. Sebab, dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jawa Timur, ada rencana untuk memindahkan ibukota Jawa Timur ke wilayah Pasuruan. Hal ini diungkapkan oleh Ir.Edy Wahyudi, ketua Pansus RTRW DPRD Provinsi Jawa Timur. Kabupaten dan Kota yang direncanakan masuk ke Provinsi Surabaya Raya adalah: Kota Surabaya dengan kabupaten di eks Keresidenan Surabaya, yakni: Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto dan Kabupaten Jombang. Kabupaten dan kota di wilayah “Mataraman” juga akan mendirikan Provinsi Jawa Selatan.
 
Daerah yang disebut Mataraman ini ada di Jawa Timur bagian tumur dan Jawa Tengah bagian barat. Wilayah itu terdiri dari Kabupaten dan Kota eks Keresidenan Madiun (Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ngawi). Bergabung dengan sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang bertetangga dengan Jawa Timur. Kabupaten dan kota itu adalah: Kabupaten Wonogiri, Kota Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kota Karanganyar, Kabupaten Surakarta, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kota Sragen. Provinsi Jipang Panolan, terdiri dari eks Keresidenan Bojonegoro, yakni Bojonegoro, Tuban dan Lamongan.
 
Bergabung dengan kabupaten di eks Keresidenan Rembang (Rembang, Pati, Jepara, Lasem dan Kudus). Khusus Lamongan, sebagian masyarakatnya banyak yang memilih bergabung dengan Surabaya Raya. Nah, bagamanapun juga semua ini adalah wacana. Seandainya nanti enar-benar terwujud Provinsi Surabaya Raya, Provinsi Madura, Provinsi Jawa Selatan, Provinsi Jipang Panolan, maka wilayah Jawa Timur yang ada sekarang ini akan menjadi lima provinsi.
 
Sedangkan Provinsi Jawa Timur sendiri, tidak lagi terdiri dari 38 kabupaten dan kota.. Mimpi untuk menjelmakan gagasan Provinsi Surabaya Raya ini, memang bukan mudah. Tidak seperti membali telapak tangan. Namun juga bukan mustahil. Perlu persiapan dan perencanaan dengan kajian yang matang. ***

Read more...

Mengapa HUT Surabaya

Berubah Menjadi 31 Mei

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam
 

MEMANG, ada pendapat bahwa hari lahir atau hari jadi Surabaya tidak sama dengan usia Pemerintahan Kota Surabaya. Itulah sebabnya, maka petinggi dan tokoh masyarakat Kota Surabaya, awal tahun 1970-an ingin melakukan koreksi tentang Hari Jadi atau Hari Lahir Surabaya. 
 
Dulu acara peringatan Hari Jadi Kota Surabaya diselenggarakan setiap tanggal 1 April. Sebab pada tanggal 1 April 1906 itulah Pemerintah Kota Surabaya terbentuk. Berdirinya Pemerintahan Kota Surabaya, bersamaan dengan empat kota di Hindia Belanda untuk pertamakalinya di Indonesia. Ke empat kota itu adalah: Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Selanjut tiap tanggal 1 April berdiri kota-kota lain di Indonesia.
 
Pemerintahan Kota umumnya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota yang banyak ditinggali oleh warga Belanda. Demi keamanan dan terpisah dari Pemerintahan Kabupaten yang dipimpin oleh bupati yang berasal dari warga pribumi. Sedangkan Pemerintah Kota dinyatakan bersifat otonom dan dipimpin oleh bangsa Belanda. Pemerintahan Kota disebut Gemeente.
Status yang diberikan kepada Surabaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1906 adalah “Zelfstaandige Stadsgemeente” atau Kotapraja dengan hak otonom.
 
Peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) Kota Surabaya yang selalu dirayakan setiap tanggal 1 April itu dirasa kurang sreg atau kurang pas. Rasanya kurang pas kalau Surabaya yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mojopahit, ternyata dalam peringatan HUT-nya masih “terlalu muda”.
 
Dalam berbagai legenda dan cerita lama, nama Surabaya tidak lepas dari sejarah berdirinya Karajaan Majapahit. Maka disepakatilah, bahwa hari lahir Surabaya hamper bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.
  
Citra dan image sudah terbentuk, bahwa Surabaya sudah berusia “tua sekali”, yakni tujuh abad. Hari ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 31 Mei, karena disepakati Surabaya ada dan berdiri sebagai sebuah permukiman resmi pada tanggal 31 Mei 1293.
  
Ceritanya dulu, beberapa orang yang peduli terhadap Surabaya, menyampaikan kepada Walikota Surabaya, R.Soekotjo (waktu itu), agar hari lahir atau hari jadi Surabaya, tidak berdasarkan pembentukan pemerintahan kota atau Gemeente, tetapi berdasarkan sejak kapan adanya nama Surabaya disebutkan sebagai suatu kawasan permukiman. Dengan demikian, usia Surabaya tidak terlalu muda, namun sudah sekian abad.
 
Para tokoh masyarakat, ahli sejarah, pengamat dan para wakil rakyat waktu itu bersepakat untuk melakukan pengkajian tentang sejarah Surabaya. Dari penelusuran sejarah yang diperoleh dari berbagai buku bacaan, prasasti dan temuan-temuan lainnya, termasuk cerita rakyat dan legenda, ditemukan beberapa tanggal yang mempunyai kaitan dengan sejarah Surabaya.
 
Berdasarkan keputusan Walikota Surabaya tahun 1973, dibentuklah tim khusus untuk melakukan penelitian. Tim itu melakukan penelitian secara ilimiah, selama satu tahun lebih. Akhirnya, ada empat tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif hari jadi Surabaya. Dari empat tanggal yang diusulkan itu, ditetapkan tiga tanggal yang cukup layak dan satu tanggal dinyatakan minderheids nota, oleh anggota tim.
 
Alternatif pertama yang diajukan tim adalah tanggal 31 Mei 1293. Disebutkan, bahwa pada tanggal itu, tentara Raden Wijaya dari Mojopahit memenangkan peperangan melawan tentara Tar-tar yang dikomandani Khu Bilai Khan dari Cina dan berhasil mengusirnya dari Hujunggaluh, nama desa di muara Kalimas.
 
Alternatif kedua, tanggal 11 September 1294, waktu itu Raden Wijaya menganugerahkan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya atas jasa mereka membantu tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar-tar.
 
Alternatif ketiga, tanggal 7 Juli 1358, yaitu tanggal yang terdapat pada Prasasti Trowulan I yang menyebut untuk pertamakalinya nama Surabaya dipakai sebagai naditira pradeca sthaning anambangi (desa di pinggir sungai tempat penyeberangan).
 
Alternatif keempat adalah tanggal 3 November 1486, tanggal yang terdapat pada Prasasti Jiu yang menjelaskan, bahwa Adipati Surabaya untuk pertamakalinya melakukan pemerintahan di daerah ini.
 
Dari empat alternatif tentang hari yang bakal ditetapkan sebagai hari jadi Surabaya, dilakukan pengkajian menyangkut data sejarah, pertimbangan yang ideal dan nilai serta jiwa kepahlawanan sebagai ciri khas Surabaya. Walikota Surabaya, R.Soekotjo waktu itu mengusulkan kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293.
 
Dalam rapat-rapat DPRD Kota Surabaya, setelah melakukan kajiulang dari berbagai aspek, DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No.02/DPRD/Kep/75 tertanggal 6 Maret 1975, mengesahkan dan menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293. Berdasarkan itu, Walikota Surabaya R.Soekotjo menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975, yang menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Surabaya.
 
Dengan ditetapkannya tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya, maka sejak tahun 1975, peringan HUT Surabaya berubah dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei, hingga sekarang ini.
 
Diprotes Ahli Sejarah
 
Saat peringatan tujuh abad atau 700 tahun Berdiri Kerajaan Majapahit, penetapan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 1293, yang disebutkan sebagai hari bersejarah, yaitu saat kemenangan tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar Tar pimpinan Khu Bilai Khan, dan meninggalkan Hujunggaluh, ternyata “diprotes” ahli sejarah.
 
Dalam Buku 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, tentang sejarah perkembangan Majapahit, halaman 53, oleh Dr.Riboet Darmosutopo dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan, bahwa tentara Khu Bilai Khan, meninggalkan Jawa, yakni pantai Hujung-galuh adalah tanggal 19 April 1293 M. Pasukan Tar Tar itu dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya, dan sebagian lagi melarikan diri dan selamat sampai di Cina. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-24). 
 
Setelah berhasil mengusir tentara Tar Tar, Raden Wiijaya melakukan persiapan mendirikan kerajaan baru, namanya Majapahit. Berdirinya Majapahit, ditandai dengan naik tahtanya Raden Wijaya tanggal 12 November 1293.
 
Nah, kalau tanggal kemenangan Raden Wijaya itu yang dijadikan patokan Hari Lahir atau Hari Jadi Surabaya, kata beberapa ahli sejarah dalam perdebatannya saat memperingati 700 tahun Majapahit itu, maka tanggal yang benar adalah 19 April 1293, bukan tanggal 31 Mei 1293.
 
Yang jelas, apapun dalilnya, sejak tahun 1975, Surabaya memperingati hari jadi tiap tanggal 31 Mei dan sebelumnya tiap tanggal 1 April. Tetapi, apakah mungkin diubah lagi? Ah, rasanya tidak perlu. Tua atau muda sebuah kota seperti Surabaya ini, yang penting penataan kota itu bermanfaat bagi warganya. 
 
Raden Wijaya
 
Kelahiran Surabaya selalu dikaitkan dengan Raden Wijaya. Siapakah sebenarnya Raden Wijaya? Warga kota Surabaya dan pemerhati Surabaya, layak mengetahui tentang siapa sebenarnya Raden Wijaya. Banyak sumber yang membicarakan tentang tokoh Raden Wijaya. Kitab-kitab kidung Pararaton, Nagarakertagama dan prasasti adalah sumber pokok yang mengungkap peranan Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.
 
Raden Wijaya adalah anak Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka atau Narasinghamurti, buyut Mahisa Wongateleng, piut (canggah) dari Ken Arok-Ken Dedes.
 
Raden Wijaya mula-mula mengabdi kepada raja Kertanegara dan dipercaya memimpin prajurit Singasari. Maka tidak aneh ketika Singasari diserang Jayakatwang, Raden Wijaya diperintah untuk menghadapinya.
 
Ketika Singasari diduduki prajurit Kadiri, puteri-puteri Kertanegara yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya ditawan mereka. Dengan usaha yang gigih puteri yang tua berhasil direbut Raden Wijaya, meskipun Raden Wijaya beserta teman-temannya terus dikejar tentara Kadiri. 
 
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa Raden Wijaya kemudian berunding dengan ke-12 prajuritnya yang setia. Mereka sepakat mengungsi ke madura untuk berlindung kepada Arya Wiraraja. Raden Wijaya keluar dari hutan menuju Pandakan, dan karena Gajah Panggon sakit, ia ditinggal di rumah kepala desa Pandakan. Raden Wijaya dan prajuritnya menuju ke Datar dan malam harinya menyeberang dengan perahu ke Madura.
  
Setiba di Madura Raden Wijaya menghadap Arya Wiraraja. Dia dinasehati agar menghamba kepada Jayakatwang di Kadiri. Tujuan pokoknya ialah untuk melihat kekuatan kerajaan Kadiri. Ketika penghambaan telah diterima dan juga diberi kepercayaan oleh oleh Jayakatwang, Raden Wijaya dianjurkan Arya Wiraraja agar minta huta Terik untuk dijadikan kota. Arya Wiraraja membantu dengan mengerahkan orang Madura sebagai tenaga kerja. 
 
Setelah Terik sudah jadi kota dan Raden Wijaya tinggal di sana, ia berhasrat menyerang Jayakatwang. Tetapi atas nasehat Arya Wiraraja, maksud Raden Wijaya itu ditangguhkan sambil menunggu datangnya tentara Tar Tar.
 
Tentara Tar Tar yang dipimpin Shih-pi, Ike Mase, dan Kau Hsing datang ke Jawa dengan maksud menghukum raja Kertanegara yang telah berani merusak muka Meng Chi utusan Kaisar Khubhilai Khan. Mereka tidak tahun kalau Kertanegara sudah wafat karena serangan Jayakatwang. Atas nasehat Arya Wiraraja, Raden Wijaya bersekutu dengan tentara Tar Tar untuk menghantam tentara Jayakatwang. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-30). Karena kalah Jayakatwang kemudian lari ke Junggaluh, tetapi ia tertangkap dan ditahan di Junggaluh ini. Di tempat tahanan, Jayakatwang menulis kidung Wukir Polaman. Disebutkan ia meninggal di Junggaluh pula. 
 
Tentara Tar Tar Kalah
 
Setelah Jayakatwang mangkat, Raden Wijaya melihat peluang untuk menghancurkan tentara Tar Tar. Dengan kekuatan dan taktik yang jitu, Raden Wijaya dengan pasukan setianya berhasil memporakporandakan tentara Tar Tar. Tentara Tar Tar kalah dan diusir dari Junggaluh. Sebagian di antara mereka meninggal dunia, sebagian lagi terpencar lari menyelamatkan diri menuju pelabuhan Tuban dan kembali ke Cina.
 
Peristiwa kekalahan tentara Tar Tar oleh pasukan Raden Wijaya terjadi tanggal 19 April 1293. Jadi bukan tanggal 31 Mei 1293 yang dijadikan sebagai rujukan untuk menetukan lahirnya Surabaya – belum disebut kota – karena pemerintahan waktu itu masih setingkat desa. 
 
Pararaton dan Nagarakertagama memberi data yang sama. Pararaton memberitakan bahwa Raden Wijaya naik takhta pada tahun 1216 C atau sama dengan 1294 M: .... samangka raden wijaya ajejeneng prabbu i caka rasa rupa dwi citangcu, 1216 .... (Par). Demikian pula Nagarakertagama memberitakan bahwa setelah Jayakatwang maninggal dunia, pada tahun 1216 C sama dengan 1294 AD, Raden Wijaya naik takhta di Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Berita tersebut dikutip sebagai berikut:
 
....... ri pjah nrpa jayakatwan awa tikang jagat alilan masa rupa rawi cakabda rika nararyya sira ratu siniwin pura ri majapahit tanuraga jayaripu tinlah nrpa krtarajasa jayawardhana nrpati (Nag..45:1).
 
Menurut kidung Harsawijaya, Raden Wijaya naik takhta tepat pada purneng kartika masa panca dasi 1215 C, yaitu tanggal 15 saat rembulan purnama bulan Kartika tahun 121 C yang bertepatan dengan 12 November 1293. Bardasarkan pada prasasti Kudadu, pada bulan Bhadrawapada 1216 C (1294 M), Raden Wijaya telah disebut Kartarajasa Jayawardhananamarajabhiseka. Dan di sini ditegaskan pula, bahwa tentara Khubilai Khan meninggalkan Jawa tanggal 19 April 1293 dan Raden Wijaya naik takhta tanggal 12 November 1293, serta Raden Wijaya yang sudah bergelar Kertarajasa Jayawardhana memberi anugerah sima kepada rama di Kudadu. ***


Read more...

Majalah Bahasa Jawa "Jayabaya" - Edisi 32/April 2009

H.M. Yousri Nur Raja Agam

ORA STRES... 

SENAJAN GAGAL KAPING LIMO

 

H.M. Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior Surabaya kang uga kader Partai Golkar iki ora kapok nyaleg senajan wis tau nyoba kaping lima nanging gagal terus. Saiki nyalonake maneh sing kaping enem kanggo pemilihan DPRD Surabaya. Isih optimis bakal dadi?
 

Bang Yousri, ngono undang-undangane, jroning minggu-minggu iki ibut kampanye mlebu-metu kampung, pasar, cangkruk karo nom-noman. Dheweke sengaja nekani warga saka omah siji menyang omah liyane kanggo golek simpati supaya mengko dicontreng ing Pemilu 9 April 2009. Priya kelairan Bengkalis, Riau, 20 Oktober 1950 kuwi anggone kampanye ora adol bagus pasang gambare sak dalan-dalan. Kamangka saiki usume para caleg adol bagus lan ayu kanthi pasang gambare ing pinggir dalan-dalan sing strategis, sing ngetokake ragad akeh. Nanging Bang Yusri cukup teka menyang omahe warga lan menehi sosialisasi Pemilu karo ngedum kartu nama sing ana fotone dheweke.
 
Yousri wiwit nyalonake dadi anggota DPR ing pemilihan 1987-1992, 1992-1997, 1997-1999 (periode iki pilihan kaping pindho), 2004-2009, lan sing pungkasan 2009-2014.
  
Sakliyane teka menyang omahe warga, dheweke uga kampanye liwat cara sing modern yakuwi liwat internet kanthi mbukak akun Facebook. Garwane Ibu Ismarini iki gampang srawung lan grapyak menyang sapa wae. Senajan isih keturunan bangsawan suku Sikumbang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, ning bisa maneka werna basa dhaerah. 
 
Uripe kerep pindhah-pindhah. Nalika isih bocah nganti remaja manggon ing Bukittinggi, banjur kuliah ing Akademi Tekstil, Bandung. Sing paling suwe urip ing Surabaya, tau kuliah ing Insitut Ilmu Hukum & Pengacara, lan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Surabaya. Mula ngepasi kampanye, yen nekani wong Medura dheweke nganggo basa Medura, yen nekani wong Jawa nganggo basa Jawa. Dheweke bisa basa Jawa ngoko lan krama inggil. Kanggo mamerake kepinterane basa Jawa, priya sing ngrintis profesine dadi wartawan nalika isih kuliah ing Bandung kuwi saben riyaya yen ngirim SMS menehi ucapan Idul Fitri migunakake Basa Jawa alus mlipis marang wartawan JB. 
 
Ing Pemilu 2009 iki bapak sing kagungan putra lan putri telu kuwi melu nyaleg kang kaping enem. Iki prestasi kang ora baen-baen. Tlaten, tabah, sabar, sing patut entuk acungan jempol. Sebab senajan wis gagal kaping lima ning salah sijine pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur kuwi ora mutung. Dheweke tetep setya lan ora oncat saka partaine, Golkar. Kamangka umume para kader partai yen kalah banjur ngalih menyang partai liyane golek kalungguhan sing luwih kepenak lan calon dadi. 
 
Apa sing ndadekake priya nggantheng kuwi tetep setya marang Golkar? “Iki ana ikatan sejarahe. Sebab ulang taunku kuwi ditutake lan dienut dening Partai Golkar sing padha-padha lair tanggal 20 Oktober. Geneya kok Golkar sing ngenut ulang taunku? Sebab laire dhisik aku, dadi aku luwih tuwa tinimbang umure Golkar,” ngono wangsulane priya sing saiki njabat Wakil Ketua DPD Partai Golkar Surabaya kuwi marang JB karo ngguyu.
 
Sakliyane kuwi ana alasan liya sing marakake atine kecanthol marang Golkar, yakuwi ibune tau dadi anggota DPRD ing Bukittinggi saka Partai Golkar. Ibune asma Hj. Nurmanis binti Zakaria, dene ramane H. Akhmad Jamirus Bastemar Datuk Rajo Labih.
 
Ing donyaning jurnalistik, Bang Yousri kerep entuk prestasi. Sakliyane kerep menang lomba karya jurnalistik, uga kerep dadi pengurus PWI, konsultan media, lan saiki mbukak koran elektronik aran Radar Pemilu. Uga kerep nindakake tugas menyang dhaerah-dhaerah lan menyang jaban negara.
 
Yousri klebu wong sabrang sing duwe kawigaten gedhe marang kutha Surabaya. Dheweke nulis buku sejarah Surabaya lan tokoh-tokoh Surabaya. Ing bebrayan wartawan, ramane Rima Yulia Natazza, SH, M. Yudithira Saputra, lan M. Yudha Israputra kuwi priya sing bisa srawung karo sapa wae, karo sing enom, sing tuwa, lan sing sabarakan. Nanging ya ngono, yen entuk SMS saka Bang Yousri marakake ati trataban. Sebab biasane SMS sing dikirim wara-wara yen ana kanca wartawan sing lara utawa tilar donya.
 
“Nek entuk SMS teka Yousri mesthi kabar sing ora nyenengake. Nek gak ngandhani ana kanca sing lara ya ana kanca sing tilar donya. Nek mbukak SMS saka dheweke atiku mesthi dheg-dhegan, sapa iki sing kesusahan. Ning aku salut marang dheweke, sebab nek dudu dheweke sapa maneh sing gelem wara-wara? Iki ya pegaweyan sing mulya,” ngono komentare wartawan senior Arifin Perdhana nalika jagongan ing Humas Pemkot Surabaya.
 
Yen gagal maneh njur piye Bang? “Ya gak masalah,” kandhane entheng.

(Endang Irowati)

Read more...

PENDUDUK ASLI SURABAYA
 
Oleh:
HM Yousri Nur Raja Agam *)
  
PENDUDUK Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menetap dan awalnya mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan pinggir sungai Kalimas anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan berkembang sampai ke darat. Nama Ujunggaluh pun mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong sekarang ini.
  
Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.
  
Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Pulau Jawa sendiri. Mereka terbanyak datang melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.
  
Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Mereka berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat atau suku Melayu dari Sumatera. Profesi dan pekerjaannya selain sebagai pelaut adalah pedagang. Para pendatang ini secara bertahap bermukim di sekitar pelabuhan dan pantai. Lama ke lamaan, banyak yang membangun perumahan di daerah Kalimas, Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel. 
  
Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya. Bahkan, kemudian, para pedagang rempah-rempah dari Eropa, yakni Portugis, Spanyol dan Belanda mulai menapakkan kakinya di Surabaya. Ini semua, mengundang pendatang untuk bekerja sebagai buruh dan pedagang.

PENGIKUT SUNAN AMPEL

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.
  
Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat atau kemudian bernama Sunan Ampel, pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}.
  
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
  
Sejak berdirinya ranah permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.
  
Tidak sedikit pula, penduduk Surabaya ini nenek moyang dan asal usulnya datang dari pulau seberang melalui laut. Yang paling dekat dari Madura dan Bali. Kemudian dari Kalimantan, Lombok, Sumbawa dan terus ke Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan juga dari Papua. Sebagianlainnya dari arah barat, yaitu dari Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Minangkabau atau Sumatera Barat. Bahkan banyak pula yang berasal dari Batak, Nias dan Deli di Sumetera Utara, serta wilayah Indonesia paling barat, yaitu Aceh.
  
Zaman dulu, setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang, mereka mulai menetap di Surabaya, sejak sekitar tahun 1500-an. Mulanya, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di kawasan Alun-alun Contong, Baliwerti, Gemblongan, Bubutan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.
  
Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai menyusun kekuasaan dengan membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai “menyengkeramkan kukunya” di wilayah Bumi Pertiwi Nusantara ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.
  
Sekarang ini, bukti memang menunjukkan, bahwa yang namanya “Arek Suroboyo” itu berasal dari berbagai daerah di bumi Pertiwi ini. Tanpa membedakan suku, agama, ras dan etnis. Tokoh Arek Suroboyo, Cak Roeslan Abdulgani sewaktu masih hidup berulangkali dalam berbagai acara resmi menyatakan, bahwa yang disebut Arek Suroboyo itu, bukan hanya yang berasal atau berdarah asli Suroboyo. Sebab cikal bakal nenek moyang warga Surabaya ini adalah pendatang. Jadi, yang namanya Arek Suroboyo adalah “siapa saja yang peduli dan berbakti untuk Kota Surabaya”.

JUMLAH PENDUDUK

Ketika Pemerintahan Kota pertama kali secara resmi dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.
  
Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.
  
DALAM sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.
  
Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.
  
Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.
  
Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.
  
Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang. Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.
  
Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).
  
Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi. Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut: Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa). Umumnya para pejabat di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.
  
Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, pada siang hari penduduk Surabaya bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa.
  
Pada malam hari, sebagian tidur di Kota Surabaya, sebagian lagi bermukim di Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Mojokerto, Jombang, Pasuruan. Bahkan tidak sedikit yang bertempat tinggal di Malang, Probolinggo, Tuban dan Bojonegoro.***
 
*) Wartawan senior berdomisili di Surabaya
 

Read more...