Di Surabaya Lima Jenazah Bertumpuk dalam Satu Makam





TPU Keputih Mulai Ramai




Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)



KEADAAN Taman Pemakaman Umum (TPU) di Kota Surabaya benar-benar dalam keadaan kritis dan memprihatinkan. Bayangkan, saat ini dalam satu makam ditempati empat sampai lima jenazah bertumpuk. Ini tidak lain akibat laju pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan tersedianya lahan TPU di dalam kota.


Dari 11 TPU yang dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, boleh dikatakan kondisinya sudah penuh. Namun, para ahliwaris warga yang meninggal dunia selalu memaksakan untuk menempati TPU yang sudah padat itu. Akhirnya, tidak jarang, makam lama digali kembali dan jenazah baru diletakkan di atas kerangka jenazah makam lama.


Jadi, lima jenazah ditumpuh dalam satu makam, bukan sekedar ucapan kosong. Ini kenyataan. Di beberapa TPU, sudah biasa terlihat dalam satu makam, ada lima nama almarhum atau almarhumah yang ditempel di dinding makam keluarga. Para pembaca, bisa melihat sendiri di TPU Tembok, TPU Ngagel, TPU Kapas dan yang lainnya.


Seperti terlihat pada foto di atas, makam almarhum Buya H.Bey Arifin, tokoh agama Islam di Kota Surabaya ini, meninggal 30 April 1995 dimakamkan di TPU Ngagel. Di makam yang satu itu, sekarang sudah bertumpuk lima jenazah. Jenazah kedua, isteri almarhum, Ny.Zainab. Berikut tiga anak almarhum: Ahmad Urfi dan Muhammad Munif, serta Hj.Nurhayati.


Berdasarkan data yang dihimpun penulis dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang juga mengelola pemakaman umum di Kota Surabaya, luas lahan kuburan yang dikelola Pemkot Surabaya 118,4 hektar. Kalaupun ada makam-makam yang tidak masuk dalam data yang dikelola Pemkot Surabaya, itu adalah tanah makam keluarga atau milik masyarakat.


Kendati luas makam di Surabaya hanya 118,4 hektar, namun kenyataannya semua jenazah orang yang meninggal di Surabaya tidak pernah "terlantar", karena tidak dapat dikuburkan. Namun, ya itu tadi, dipaksakan "bertumpuk". Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Ir.Hidayat Syah.


Memang berdasarkan perhitungan, tingkat kematian di Surabaya, rata-rata 350 sampai 390 orang tiap bulan bagi yang beragama Islam dan 83 hingga 110 orang bagi umat Kristen. Bagi golongan yang beragama lain, rata-rata sekitar 10 orang tiap bulannya.


Sebagai gambaran, di Surabaya ada 11 TPU yang dikelola Pemkot Surabaya. makam itu, khusus TPU untuk semua agama ada lima, khusus makam Islam juga lima dan khusus makam Kristen ada satu.


TPU untuk berbagai agama, adalah: TPU Kapas Krampung, luasnya 9 Ha, TPU Putat Gede (14 Ha), TPU Wonokusumo Kidul (7,1 Ha), TPU Peneleh (4,5 Ha) dan TPU Simokwagean (12,42 Ha). Makam khusus Islam, yakni: Makam Islam Kalianak (7 Ha), Makam Islam Karang Tembok (8,5 Ha), Makam Islam Tembok Gede (13 Ha), Makam Islam Ngagel Rejo (6 Ha) dan Makam Islam Asem Jajar (2,8 Ha). Satu Makam Kristen, di Kembang Kuning, luasnya 34,08 hektar.


TPU Keputih


Kepadatan isi makam benar-benar sudah memprihatinkan, sebagai contoh, di Makam Islam Karang Tembok satu makam sudah menumpuk sampai lima jenazah. Sedangkan Makam Tembok Gede dan Ngagelrejo rata-rata satu makam bertumpuk empat jenazah. Makam Kalianak, Asem Jajar, Kapas Krampung dan Kembang Kuning masing-masing makam ditempati dua jenazah.


Melihat kondisi yang demikian itu, sejak tahun 2000 lalu, Pemkot Surabaya sudah melakukan persiapan pembangunan TPU baru. Sekarang, sudah tersedia lahan untuk pemakaman baru seluas 60 hektar di dua lokasi.

TPU baru itu, seluas 50 hektar terletak di Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya Timur dan yang 10 hektar berada di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya Barat. Selain di dua tempat itu, juga akan dibangun TPU baru di Tambakdono seluas 125 hektar.


Lahan TPU di Sukolilo yang sudah difungsikan ada 4,5 hektar yang dibagi dalam 12 blok. Tiap blok dirancang untuk 400 sampai 500 makam. Sementara itu, TPU yang berada di babat Jerawat, dari 10 hektar yang direncanakan baru berhasil dibangun 7,1 hektar.


Ternyata setelah TPU Keputih dibenahi, masyarakat sudah mulai tertarik untuk memakamkan keluarganya yang meninggal ke TPU baru itu. Walaupun demikian, warga kota masih saja berebutan membawa jenazah keluarganya ke TPU yang berada di tengah kota.


Selama ini TPU yang selalu menjadi favorit warga adalah TPU Ngagel dan Ngagelrejo, TPU Karang Tembok, TPU Tembok Gede dan juga TPU Kapas dan TPU Kenjeran. Padahal, seperti diungkapkan di TPU ini jenazah sudah bertumpuk empat sampai lima tiap makam.


Sebenarnya, untuk menghadapi permasalahan makam ini Pemkot Surabaya sudah memberikan ketentuan kepada tiap pengembang atau pengusaha realestat yang membangun kawasan permukiman untuk menyediakan fasilitas umum berupa TPU. Namun, belum ada perusahaan swasta yang membangunan kawasan perumahan baru itu yang menyediakan fasilitas TPU.


Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya No.65 tahun 1997 tanggal 12 Agustus 1997, ditetapkan, kepada perusahaan pengembang diwajibkan menyetorkan dana sebesar harga 2 persen dari luas lahan yang dikuasai. Perhitungan harga lahan itu disesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) atas tanah di kawasan itu.


Dalam kenyataannya, kebanyakan para pengembang perumahan lebih berorientasi kepada bisnis daripada kepada kepentingan sosial. Sehingga, boleh dikatakan keputusan walikota itu belum terlaksana secara optimal.

Untuk menjaring agar pengusaha pembangun perumahan "terpaksa" menyediakan dana untuk membangun TPU, maka diancam dengan sanksi. Sanksinya, apabila tidak menyediakan lahan 2 persen atau mengganti seharga 2 persen, maka proses perizinan pembangunan akan dibekukan, seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) misalnya.

Pemkot Surabaya menerapkan sistem retribusi makam di TPU seperti TPU Tanah Kusir di Jakarta. Peraturan daerah (Perda) tentang retribusi pemakaman itu sudah dipersiapkan. ***




*) Yousri Nur Raja Agam MH -- Ketua Yayasan Peduli Surabaya.