Ludruk dan Asal-usulnya

Media Komunikasi Tradisional
Surabaya - Jawa Timur



Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)


“PEGUPON omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”.


Kalimat berbahasa Jawa di atas, tidak hanya dibaca begitu saja, tetapi dilagukan dengan seni kidung jula-juli yang merupakan bagian dari Seni Ludruk. Suatu jenis kesenian yang sudah membudaya di Kota Surabaya sejak abad XV.

Kalimat, pegupon rumahnya (kandang) doro (burung dara) atau burung merpati, hanyalah sebuah sampiran yang tidak mengandung arti apabila dikaitkan dengan isi pantun yang sesungguhnya. Kalimat itu hanyalah pemanis ucapan sebenarnya, dari kalimat yang kedua, yaitu: “melok Nippon tambah sengsoro”. Artinya, ikut Jepang, tambah sengsara.

Bagaimana pun juga, itulah kenyataannya di zaman pendudukan atau penjajahan Jepang. Walaupun yang hanya tiga setengah tahun di bumi pertiwi ini, rasanya menyakitkan.. Dari Sabang sampai Merauke, rakyat Indonesia menyatakan penjajah Jepang itu kejam. Konon, ada yang merasa senang dan menikmati keberadaan Jepang di Indonesia. Tetapi tidak demikian bagi saudara dan keluarga kita yang dijadikan romusha dan kerja paksa. Perangai mereka benar-benar “biadab” tidak berperikemanusiaan.

Di balik itu peristiwa yang memilukan itu, akhirnya mengantar kita ke gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Nah, kalimat yang berbentuk syair atau pantun yang disampaikan secara spontan, dengan kidungan jula-juli yang kedengarannya agak lucu, mengandung humor, tetapi bernada kritik itu, itulah kira-kira difenisi dari Seni Ludruk. Seni yang “diakui” sebagai salah satu seni tradisional Surabaya.

Suara hati yang halus dari para seniman memang tak mampu berdiam diri. Kendati satu kalimat, seperti yang diucapkan Gondo Durasim dalam kidungan sairnya itu, ternyata mampu membuat gejolak yang membara di hati sang penjajah. Si Nippon atau Jepang. benar-benar takmampu menahan amarahnya, tatkala ada warga negara Indonesia di Surabaya yang berani mengucapkan kalimat “Ikut Jepang ternyata tambah sengsara”.

Kidungan Cak Durasim – demikian sapaan khas Gondo Durasim – melalui seni Ludruk itu ternyata mampu menggugah semangat perlawanan warga Surabaya kepada “saudara tua” itu. Saking tidak mampunya si Jepang itu menahan emosi tatkala dilapori oleh “pengkhianat dan penjilat” tentang arti kalimat Bahasa Jawa itu, Cak Durasim terpaksa berurusan dengan Kenpetai – Polisi Militer Jepang – yang terkenal tak mau kompromi itu. Cak Durasim, disiksa dan dipenjarakan tanpa sidang di meja hijau.

Jadi, kegiatan seni budaya itu, tidak hanya untuk menghibur. Seni Ludruk, juga tidak semata-mata sebagai alat pengguyu atau pengolah tawa. Tetapi, seperti yang dilakukan Cak Durasim, seni kidungan Ludruk ternyata mampu mengobarkan semangat juang dan sekaligus menundukkan lawan.

Memang, kidungan Cak Durasim itu, adalah contoh, seni Ludruk. Terbukti, betapa seni ucap dan tutur mampu menggugah rasa dan karsa. Sehingga membuat seseorang berbuat dan melakukan sesuatu. Sebaliknya, adalah benar pula bunyi pepatah yang mengatakan “mulutmu, harimaumu”, Artinya, hati-hatilah dalam bertutur, sebab ucapan yang keliru dapat menerkam dirimu sendiri. Oleh sebab itu, dalam bertutur dan berucap harus mampu menempatkannya.

Bertutur adalah bagian dari komunikasi. Dunia seni juga alat komunikas. Ludruk adalah komponen media komunikasi tradisional yang harus dilestarikan. Sebab, tidak hanya berpidato atau retorika semata yang dapat dikatakan sebagai media komunikasi. Bernyanyi, bersyair, berpantun, kidungan dan jula-juli dalam seni Ludruk merupakan seni budaya yang sangat bermanfaat.

Seni Ludruk mampu menggalang kebersamaan dan solidaritas di antara sesama. Ludruk mampu merekat persaudaraan, rasa setia kawan dan mempersatukan suatu komunitas. Oleh sebab itu, media komunikasi yang dibangun melalui seni Ludruk, harus mampu menyampaikan ide-ide murni, kritik yang membangun, serta saran yang bermanfaat.

Memang, melalui seni Ludruk, komunikasi akan terbentuk dengan rasa humor, lucu dan menghibur. Dengan demikian, para pemerhati, pendengar, panonton dan pemirsa akan menyatu dengan pelaku yang berada di panggung.. Sebagai alat kontrol sosial, Ludruk mempunyai karakteristik yang mencerminkan pergaulan dan kehidupan warga atau komunitas pendukungnya.

Dalam seni budaya, dua kalimat di atas merupakan sebuah sair atau pantun
Cak Durasim, bagaimanapun juga harus diakui sebagai pahlawan. Dia telah berkorban demi perjuangan kemerdekaan di ranah kota Surabaya. Kendati hanya dengan pesan moral, seniman ludruk ini mampu membuat bulu kuduk penjajah Jepang merinding. Telinga Nipong itu merah, hatinya panas bergejolak tak terkendalikan. Bahkan “saudara tua” itu tidak mampu menguasai emosi. Tak pelak akhirnya Cak Durasim pun “dihabisi”. Sang seniman Ludruk itu, pergi sebagai pahlawan di Kota Pahlawan Surabaya ini. Namanya diabadikan sebagai nama Taman Budaya Jawa Timur, di Jalan Gentengkali Surabaya, yaitu “Taman Budaya Cak Durasim”.


Prabu Minohek


`Selain nama Cak Durasim, generasi penerusnya hingga sekarang pun masih ada. Pernah dengar nama Kartolo, Markeso, Markaban, Kancil, Sokran, Basman, Blontang, Kustini, Bondet, Munawar dan lain-lainnnya? Tentu, mereka itu adalah para seniman Ludruk.

Konon seni Ludruk itu sudah ada sejak abad ke XV. Berkembang pesat di Jawa Timur, terutama di Surabaya, Jombang dan Malang.

Ludruk itu, adalah sandiwara tradisional Jawa Timur, tulis M.Jupri pada Kamus Suroboyoan Indonesia, halaman 115. Namun, karena yang ditulis M.Jupri itu hanyalah kamus, tidak ada penjelasan lebih lengkap.

Tentang asal usul kata Ludruk itu sendiri, belum jelas sampai sekarang. Para ahli bahasa, seni dan budayawan masih meraba-raba. Namun, kalau kepada para seniman ditanya apa asalnya, jawabnya “lucu-lucu” – sama lucunya dengan seni ludruk itu sendiri.

Nah, tentu apabila kita melihat atau mendengar sesuatu yang lucu, maka kita akan tertawa. Ada rasa geli dan gembira yang menyeruak di dalam hati.

“Tertawa itu sehat”, bak kata pepatah dan pesan orang tua kita. Tetapi, ingat jangan tertawa sendirian tanpa sebab apa-apa. Nanti dianggap tidak waras. Oleh sebab itu, maka tidaklah mengherankan, di samping seni ludruk yang membuat orang tertawa, banyak lelucon atau lawak yang juga menghasilkan tertawa. Demikian pula dengan seni ludruk, pada prinsipnya, juga mampu memproduksi kelenjar-kelenjar yang mengendurkan urat syaraf. Saat urat syaraf sedang kendur itulah orang bisa tertawa. Atau sebaliknya, dengan tertawa dapat mengendurkan ketegangan urat syaraf.

Banyak pula bentuk acara dan seni yang bisa menghasilkan tawa. Selain, ludruk, ada yang disebut humor, lecucon, lawak, dagelan, guyonan, “kocok perut” dan istilah lain dari berbagai daerah.

Saya juga tidak pernah melupakan, sahabat yang sekaligus bapak bagi saya dari bidang komunikasi. Di adalah Markum Singodimedjo. Dulu pernah menjadi kepala Kantor Deppen (Departemen Penerangan) Kota Surabaya. Prestasinya melejit, menjadi Kakanwil (Kepala kantor Wilayah) Deppen di Aceh, Riau dan Jawa Timur. Kemudian, Markum of Lion on the Table itu, menjadi bupati di kampung reog Ponorogo.

Apa yang dilakukan oleh perokok berat yang akhirnya terdampar di Senayan Jakarta sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar itu sewaktu menjadi bupati. Dia bilang, hanya satu: “Gawe Gemuyune Wong Cilik” atau membuat orang kecil bisa tertawa. Artinya, dalam keadaan bagaimanapun mereka bisa senang. Sebab, tertawa itu adalah pertanda hati seseorang senang, kata pria yang baru bisa tidur kalau punggungnya sudah digaruk sang isteri.

Dalam buku Ilmu Ngglethek Prabu Minohek, karangan Sindhunata, halaman 4, disebutkan, bahwa dalam tawa sesungguhnya tersimpan pelbagai rahasia hidup manusia. Ketika manusia tertawa, itulah saat di mana “surga sedang menyentuh hatinya”. Betapa pentingnya tertawa itu bagi hidup manusia. Kita perlu tertawa supaya kita bisa bijaksana. Sementara harus kita akui betapa pelit kita dengan tawa. Karena itu, pada kesempatan apapun kita perlu mencari sela-sela dan peluang untuk tertawa, sejauh kita bisa.

Tertawa adalah intisari dari ilmu Ngglethek. Hanya dengan tertawa, kita bisa menyelami, hidup ini sesungguhnya hanyalah ngglethek belaka. Ngglethek maksudnya, apa yang kita bayangkan ternyata lain dengan kenyataan yang terjadi, dan apa yang kita usahakan mati-matian, ternyata tak berarti apa-apa buat hidup kita. Tak mungkin orang bisa sampai pada ke-ngglethek-an itu, apabila ia tidak bisa tertawa dan menertawakan dirinya, maupun hidupnya.

Dalam buku Ilmu Ngglethek yang ditulis Sindhunata itu sesungguhnya bercerita tentang kehidupan seniman ludruk Kartolo. Banyak ungkapan dan sejarah tentang ludruk itu dipaparkan dalam buku itu. Ada 43 judul yang masuk dalam “Jerohan Ilmu Ngglethek Prabu Minohek” itu. Selain peran Cak Kartolo, sebagai seorang figur ludruk, juga diperkenalkan beberapa seniman ludruk lainnya.

Bagi masyarakat Surabaya dan Jawa Timur, tentu mendengar nama Cak Kartolo, bukan asing lagi. Selain mendengar atau menyaksikan langsung dari panggung, dagelan Cak Kartolo juga sudah banyak yang beredar melalui pita rekaman atau kaset. Sehingga, tidak jarang, ludrukan Cak Kartolo itu bisa didengar di mana-mana. Penggemarnya tidak pandang profesi. Mulai dari tukang becak, kuli, buruh bangunan, tukang kayu, sopir, juga pedagang, pengusaha besar, guru, dosen, perawat, ibu-ibu rumahtangga dan kaum intelektual lainnya.

Saya juga menyenangi ludruk. Namun ada teman-teman yang menganggap aneh. Alasannya, saya bukan asli atau kelahiran Surabaya. Tetapi, mereka tidak tahu, kalau berbagai seluk-beluk budaya asli Surabaya saya tekuni bersungguh-sungguh. Tidak hanya itu yang saya gandrungi, juga joke-joke tentang orang Madura, juga saya senangi. Banyak joke tentang orang Madura yang sekarang sudah menasional. Menjadi lawakan menarik.

Beberapa kali dalam perjalanan keluar kota bersama rombongan di dalam bus, saya kadang-kadang berperan sebagai pengolah tawa amatiran. Sewaktu saya bercerita tentang ilmu Ngglethek Prabu Minohek itu, teman-teman dari Kosgoro serius mendengarkannya. Saya kutip beberapa kidungan jula-juli Cak Kartolo. Kemudian saya katakan sebenarnya ilmu Ngglethek ajaran Prabu Minohek itu adalah ajaran tentang ilmu tertawa. Mengapa kita perlu tertawa, karena hidup ini sebenarnya hek, hek, hek, entek jare tokek, moro-moro matek. O alla ngglethek.

Saking seriusnya mendengar beberapa kutipan dari buku itu, Said dan Eva bukannya tertawa, malah serentak berkata: “Eee, alaaah ....... njiketek”, katanya.

Asal-usul kata Ludruk

Apakah anda tahu, dari mana asal kata Ludruk itu. Ternyata, sampai sekarang belum ada kesimpulan yang pasti.

Pernah ada diskusi tentang sejarah Ludruk yang diselenggarakan para seniman Surabaya di tahun 2002. Kesimpulan diskusi itupun tidak pernah tegas mengatakan asal-usul Ludruk itu. Pokoknya, Ludruk adalah seni budaya yang sudah berkembang dan membudaya di Surabaya dan Jawa Timur.

“Lho, siapa bilang tidak ada kata asal dari Ludruk!”, ujar Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya. “Ludruk itu berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk menghentak lantai seperti penari Ngremo. Ya, itulah Ludruk, kata Cak Markaban dengan serius, tetapi yang mendengarkan terpingkal-pingkal.

“Oh, oh, bukan demikian”, sahut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan yang hadir pada diskusi itu. “Ludruk itu asalnya molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai – gedrak-gedruk”, jelasnya.

Oke-oke, kalau begitu hampir sama, ujar Bawong dari DKS (Dewan Kesenian Surabaya) yang membuat kesimpulan dengan suara agak lantang.

Ludruk itu, kata Eddy Samson, yang dikutip Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, halaman 100, berasal dari bahasa Belanda.

Dulu, tatkala menonton drama tradisional ini banyak anak-anak Belanda muda Indo – tentunya mereka itu teman-teman bapak atau kakek dari Eddy Samson yang juga Indo – yang senang menonton. Mereka menyukainya. Kepada teman-teman yang akan diajak nonton dikatakan: “Mari kita leuk en druk. Kalau bahasa gaul sekarang: mari kita tida ferdoeli, yang penting enjoy, happy-happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa ini”, begitu kira-kira maksudnya. Atau bahasa gaul anak musa kita menikmati dugem (dunia yang gemerlapan) atau (dunia gembira)..

Nah, ini dia, kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini, yaitu Ludruk. Ah, wallauhualam bisssawaaab!

Yang jelas, dalam praktiknya, ludruk adalah membuat orang tertawa, senang dan kalaupun tersindir tidak boleh marah. Hati boleh panas, kepala tetap dingin. Tidak seperti Nippon yang menyiksa Cak Durasim.

Peneliti asing

Ludruk yang dibawakan Cak Markeso, sering pula disebut ludruk garingan. Ia tampil secara sendirian, atau tunggal. Garing, dapat diartikan kering. Jenis ludruk ini juga biasa disebut ludruk Lirok. Memang, Cak Markeso biasa bermain solo atau tunggal. Konon ia sudah memulai kegiatan itu sejak tahun 1949. Namun tahun 1990-an Cak Markeso yang lahir tahun 1920 itu sudah jarang tampil, uzur karena dimakan usia. Ia berpulang ke Rahmatullah tahun 1999.

Melihat jauh ke zaman dulu yang menyatakan, bahwa ludruk sudah ada sejak abad ke-15. Kesenian tradisional itu, malah juga bukan yang pertama, sebab sebelumnya pada abad ke-12 hingga abad ke-15 sudah ada kesenian tradisional bernama Badhan. Kesenian ini mementaskan suatu bentuk pamer kekuatan dengan menggunakan magic dan supranatural.

Pada abad ke-16, lahirlah kesenian yang disebut Lerok, berasal dari kata lira alat musik mirip siter. Kesenian yang berkembang di daerah Jombang itu, masuk ke kota Surabaya, dengan sebutan Ludruk Lirok. Itulah yang dikembangkan Cak Markeso. Hingga sekarang, ludruk jenis Lirok ini masih ada, tetapi sudah bukan solo lagi, namun ditambahi dengan ketipung dan jidor. Nah, iringan suara unik itu mengiringi kidung jula-juli.

Ada pula yang disebut ludruk Besutan. Nama besut asalnya adalah nama seorang seniman yang mengawali kegiatan dengan ngamen (meminta-minta atau mengemis) dari kampung ke kampung. Besut yang mulanya berjalan sendiri, mengajak temannya tiga orang. Di antaranya, mengenakan pakaian wanita, seperti banci. Lama kelamaan, ludruk jenis ini disebut Ludruk Besutan.

Keberadaan kesenian tradisional ini di samping menarik simpati orang. Sehingga ada yang menyediakan gedung khusus untuk pertunjukan ludruk ini secara rutin. Ludruk gedung ini, dulu ada di tiap kecamatan di Surabaya. Tetapi lama-lama hilang dan menghentikan kegiatannya. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, masih ada yang bertahan. Di antaranya, Ludruk Irama Budaya, di Pulo Wonokromo dan Ludruk Bintang Jaya di Dukuh Kupang.

Kendati ludruk merupakan kesenian tradisional yang bersifat lokal, ternyata menarik pula untuk bahan penelitian. Tidak sedikit mahasiswa melakukan penelitian untuk skripsi. Bahkan, peneliti asing pun sudah sejak lama melakukan pengkajian terhadap kesenian yang sempat membuat Cak Markeso masuk penjara.

James L.Peacook, tidak sekedar meneliti, tetapi melakukan kajian ilmiah. Ia bahkan, melakukan pendalaman tentang ludruk. Sampai-sampai menghimpun berbagai kidungan dan jula-juli yang sering dibawakan pemain ludruk.

Ada lagi peneliti yang bernama Th.Pigeaud. Ia menulis hasil penelitian itu dalam buku berjudul Javaanse Volksvertonigen yang terbit tahun 1938.

Prof.Dr.RM Ng.Poebatjaraka, ahli filologi Indonesia, juga pernah melakukan pembahasan tentang ludruk. Demikian pula dengan L.Poerbokoesoemo, tahun 1960 menulis tentang Ludruk dari Segi Sejarah serta Perkembangannya.


Ludruk Glamour

Ludruk sudah lama dimanfaatkan sebagai media komunikasi. Melalui para pemain ludruk di panggung, disampaikan berbagai pesan. Baik pesan dari pemerintah, maupun”pesan sponsor” tertentu.

Tahun 1960-an hingga awal zaman Orde Baru ludruk juga dimanfaatkan untuk menggalang kepentingan organisasi dan partai politik. Bahkan, kepolisian melalui grup kesenian Ludruk Tribrata Brimob, pimpinan Cak parman, misalnya sering tampil dalam acara-acara panggung gembira. Di samping menghibur, mereka menyampaikan pesan-pesan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat).

Saat Deppen (Departemen Penerangan) masih ada di dalam pemerintahan, kegiatan kesenian tradisional jenis ludruk ini termasuk yang dibina. Kelompok ludruk dijadikan media atau alat komunikator pemerintah untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Namun yang rutin dikenal masyarakat melalui siaran di RRI (Radio Republik Indonesia) dan sekali-sekali di panggung acara.

Memang terjadi pasang surut, sebab setelah ludruk itu “kurang lucu” dan “kurang kritis”, karena menjadi alat pemerintah semata, maka masyarakat mulai meninggalkannya. Masyarakat ingin, ludruk itu seperti zamannya Cak Gondo Durasim.

Sadar bahwa kesenian ludruk iditinggalkan penggemarnya, beberapa komunitas seni berusaha menghidupkan. Tetapi tetap tertatih-tatih, karena semua sekarang ini serba sponsor untuk membiayainya.

Di kampus ITS Surabaya, pernah ada kelompok ludruk intelektual yang berusaha menyampaikan pesan-pesan ilmiah secara tradisional. Namanya Ludruk Muda “Cap Tugu Pahlawan”. Namun tidak berumur panjang.

SCTV (Surya Citra Televisi) yang waktu itu masih berdomisili di Surabaya, sebelum hijrah ke Jakarta, pernah menampilkan kesenian ludruk dengan tajuk “Ludruk Glamour”. Tujuannya untuk mengimbangi penampilan Ketoprak Humor. Awalnya, mereka tampil menarik dan berani. Tetapi, lama kelamaan hilang dari tayangan.

Nah, sekarang mari kita tanya kepada “rumput yang bergoyang”, siapakah yang bertanggungjawab atas semakin pudarnya citra ludruk di bumi Surabaya ini? Ayo sopo cak! **

*) Yousri Nur Raja Agam MH Wartawan Senior Surabaya - Pemerhati budaya – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.