PENDUDUK ASLI SURABAYA
 
Oleh:
HM Yousri Nur Raja Agam *)
  
PENDUDUK Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menetap dan awalnya mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan pinggir sungai Kalimas anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan berkembang sampai ke darat. Nama Ujunggaluh pun mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong sekarang ini.
  
Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.
  
Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Pulau Jawa sendiri. Mereka terbanyak datang melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.
  
Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Mereka berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat atau suku Melayu dari Sumatera. Profesi dan pekerjaannya selain sebagai pelaut adalah pedagang. Para pendatang ini secara bertahap bermukim di sekitar pelabuhan dan pantai. Lama ke lamaan, banyak yang membangun perumahan di daerah Kalimas, Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel. 
  
Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya. Bahkan, kemudian, para pedagang rempah-rempah dari Eropa, yakni Portugis, Spanyol dan Belanda mulai menapakkan kakinya di Surabaya. Ini semua, mengundang pendatang untuk bekerja sebagai buruh dan pedagang.

PENGIKUT SUNAN AMPEL

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.
  
Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat atau kemudian bernama Sunan Ampel, pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}.
  
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
  
Sejak berdirinya ranah permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.
  
Tidak sedikit pula, penduduk Surabaya ini nenek moyang dan asal usulnya datang dari pulau seberang melalui laut. Yang paling dekat dari Madura dan Bali. Kemudian dari Kalimantan, Lombok, Sumbawa dan terus ke Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan juga dari Papua. Sebagianlainnya dari arah barat, yaitu dari Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Minangkabau atau Sumatera Barat. Bahkan banyak pula yang berasal dari Batak, Nias dan Deli di Sumetera Utara, serta wilayah Indonesia paling barat, yaitu Aceh.
  
Zaman dulu, setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang, mereka mulai menetap di Surabaya, sejak sekitar tahun 1500-an. Mulanya, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di kawasan Alun-alun Contong, Baliwerti, Gemblongan, Bubutan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.
  
Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai menyusun kekuasaan dengan membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai “menyengkeramkan kukunya” di wilayah Bumi Pertiwi Nusantara ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.
  
Sekarang ini, bukti memang menunjukkan, bahwa yang namanya “Arek Suroboyo” itu berasal dari berbagai daerah di bumi Pertiwi ini. Tanpa membedakan suku, agama, ras dan etnis. Tokoh Arek Suroboyo, Cak Roeslan Abdulgani sewaktu masih hidup berulangkali dalam berbagai acara resmi menyatakan, bahwa yang disebut Arek Suroboyo itu, bukan hanya yang berasal atau berdarah asli Suroboyo. Sebab cikal bakal nenek moyang warga Surabaya ini adalah pendatang. Jadi, yang namanya Arek Suroboyo adalah “siapa saja yang peduli dan berbakti untuk Kota Surabaya”.

JUMLAH PENDUDUK

Ketika Pemerintahan Kota pertama kali secara resmi dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.
  
Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.
  
DALAM sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.
  
Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.
  
Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.
  
Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.
  
Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang. Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.
  
Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).
  
Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi. Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut: Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa). Umumnya para pejabat di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.
  
Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, pada siang hari penduduk Surabaya bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa.
  
Pada malam hari, sebagian tidur di Kota Surabaya, sebagian lagi bermukim di Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Mojokerto, Jombang, Pasuruan. Bahkan tidak sedikit yang bertempat tinggal di Malang, Probolinggo, Tuban dan Bojonegoro.***
 
*) Wartawan senior berdomisili di Surabaya
 

<<